Jalan merupakan infrastruktur penting untuk mendukung daya saing, produktivitas, dan pertumbuhan ekonomi suatu daerah, bahkan negara. Namun, apakah sudah tepat dan efektif kebijakan menggenjot pembangunan jalan tol di masa pemerintahan Presiden Joko Widodo ini?
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), total panjang jalan di Indonesia tercatat sebesar 548.573 km pada 2021. Terdiri dari jalan nasional sepanjang 47.017 km, jalan provinsi 54.551 km, jalan kabupaten/kota 444.548 km, dan jalan tol 2.457 km.
Empat jenis jalan tersebut beroperasi sesuai tingkat kewenangan pemerintah. Jalan nasional dan jalan tol menjadi tanggung jawab pemerintah pusat, sementara jalan provinsi dan jalan kabupaten/kota diurus oleh pemerintah daerah.
Artinya, pemerintah pusat punya wewenang atas 9,1% jalan di Indonesia. Laporan Bank Dunia bertajuk “Indonesia Public Expenditure Review: Spending for Better Results” (2020) mengatakan jalan nasional dan jalan tol tersebut “memuat hampir 40% lalu lintas” di dalam negeri.
Penggunaan Jalan Nasional dan Jalan Tol
Jalan nasional lebih dulu beroperasi ketimbang jalan tol di Indonesia. Salah satunya, Jalur Pantai Utara (Pantura) yang dibangun pada masa kolonial dan masih digunakan sampai sekarang. Menurut data BPS, panjang jalan nasional di Indonesia mencapai 47.017 km (8,6% total jalan) pada 2021.
Angka total tersebut mencakup dua aspek. Pertama, jalan nasional yang baru dibangun. Kedua, jalan existing yang berubah status dari jalan daerah menjadi jalan nasional (upgrade).
Namun, Bank Dunia mencatat pertambahan jalan nasional didominasi perubahan status jalan, bukan hasil dari pembangunan jalan baru. Sebagai gambaran, lembaga itu mengatakan 86% tambahan jalan nasional berasal dari perubahan status pada 2014, sedangkan pembangunan jalan baru hanya 3%.
“Jaringan jalan nasional tidak dapat mengimbangi pertumbuhan permintaan (transportasi darat), yang menyebabkan penumpukan (kemacetan) pada jaringan jalan,” tulis Bank Dunia.
Karena itu, pemerintah membangun jalan tol. Melansir Historia, pembangunan jalan tol yang berbayar pertama kali diusulkan oleh Wali Kota Jakarta Sudiro pada 1955. Tujuannya, mendapat dana tambahan untuk pembangunan kota.
Usulan ini sempat ditolak, lantaran dianggap malah menghambat lalu lintas dan sistem jalan berbayar merupakan pajak kuno. Pembangunan jalan tol perdana dengan rute Jakarta-Bogor-Ciawi (Jagorawi) akhirnya dimulai pada 1973. Jalan berbayar sepanjang 59 km itu mulai beroperasi pada 1978.
Pada tahun-tahun berikutnya, jalan tol yang beroperasi di Indonesia pun semakin panjang hingga ke luar Pulau Jawa.
Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) mencatat ada 15 ruas jalan tol dengan total panjang 564,9 km beroperasi di Indonesia pada era Orde Baru. Lalu, bertambah dua ruas jalan tol sepanjang 12,8 km pada masa kepemimpinan BJ Habibie (1998-1999).
Jumlah jalan tol yang beroperasi baru bertambah lagi pada pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Pertambahannya sebanyak 14 ruas jalan tol dengan total panjang 352,2 km pada periode 2004-2014.
Jokowi juga menambah 36 ruas jalan tol siap beroperasi sepanjang 1.569,2 km sejak awal memimpin hingga Februari 2022. Dengan begitu, jalan tol yang kini dapat digunakan masyarakat Indonesia sudah mencapai lebih dari dua ribu kilometer.
Menurut pengamat perkotaan Universitas Trisakti Nirwono Yoga, pembangunan jalan tol jadi prioritas pemerintah karena biaya pembangunannya dibebankan pada pihak ketiga atau melalui skema Kerja Sama Pemerintah dan Badan Usaha (KPBU), seperti dilansir dari Bisnis.
Dengan begitu, pemerintah tidak menggunakan dana dari APBN maupun menanggung kerugian dari pembangunan jalan tol. Sejalan dengan itu, situs Badan Pengatur Jalan Tol (BPJT) pun mengatakan jalan tol bertujuan “meringankan beban dana pemerintah melalui partisipasi pengguna jalan.”
Meski berbayar, jalan tol sebetulnya juga memberikan dampak positif terhadap kepentingan ekonomi dan sosial masyarakat—tidak hanya bertujuan mencari dana untuk pembangunan kota, seperti usulan awal Sudiro.
Ardiyono dkk. (2018) dalam artikel “How does toll road impact accessibilities, trades, and investments in short term?” di Journal of Infrastructure, Policy and Development mengukur dampak jalan tol Cipali (Cikampek-Palimanan) bagi para pengguna jalan tersebut.
Hasilnya, sebagian besar responden yang menggunakan jalan tol Cipali mengatakan durasi perjalanan mereka berkurang sekitar 39%. “Rerata durasi perjalanan berkurang dari 206 menit (sebelum ada jalan tol Cipali) menjadi 128 menit,” tulis para peneliti.
Dengan durasi perjalanan yang lebih singkat, para pengguna jalan dapat menghemat biaya operasional kendaraan, salah satunya untuk bahan bakar, dan menurunkan risiko kecelakaan di jalan.
Tidak hanya itu, perpindahan barang pun menjadi lebih cepat dan banyak dari sebelumnya, terutama bagi daerah yang dekat pintu keluar tol. Responden menyebut volume barang umum yang dikirim rata-rata naik 43%, sementara makanan sekitar 34,3% dibandingkan sebelum ada jalan tol Cipali.
Alhasil, kehadiran jalan tol Cipali turut memberikan dampak positif bagi perdagangan besar dan UMKM di sekitar jalan tol.
Lantas, bagaimana dengan jalan nasional?
Menurut Ardiyono dkk., durasi perjalanan melalui jalan nasional (jalur Pantura) pun berkurang hingga 45 menit setelah adanya jalan tol Cipali. Penyebabnya, kendaraan pribadi kini umumnya menggunakan jalan tol, sehingga mengurangi kemacetan di jalan nasional, yang lantas digunakan kendaraan logistik.
Namun, bersamaan dengan itu, aktivitas perdagangan UMKM di jalur Pantura mengalami penurunan. Sebagian lalu lintas yang berpindah ke jalan tol Cipali menjadi alasannya.
Kualitas Jalan Perlu Jadi Perhatian
Selain panjang, kualitas jalan perlu menjadi perhatian pemerintah. Bank Dunia mengatakan Indonesia memang sudah mendekati target output, seperti panjang jalan, tetapi masih jauh dari target outcome atau hasil, terutama untuk jalan nasional.
Salah satunya, konektivitas jaringan jalan nasional yang diukur melalui durasi perjalanan. Rencana Strategis Direktorat Jenderal Bina Marga 2020-2024 menargetkan waktu tempuh ini menjadi 2,08 jam per 100 km pada 2023. Kemudian, ditargetkan turun lagi menjadi 1,9 jam per 100 km pada 2024.
Data Ditjen Bina Marga menunjukkan durasi perjalanan di jalan nasional terus menurun menjadi 2,2 jam per 100 km pada 2019. Sementara, menurut Direktur Jenderal Bina Marga Hedy Rahadian, waktu tempuh itu kini tercatat sebesar 2,1 jam per 100 km.
Kedua angka itu memang menunjukkan penurunan, tetapi belum sesuai dengan target 2023. Terlebih, waktu tempuh perjalanan masih jauh tertinggal dari sejumlah negara tetangga yang sudah mencapai 1,5 jam per 100 km.
“Semakin travel time (waktu tempuh perjalanan) turun, maka cost juga akan turun,” kata Hedy kepada Katadata.co.id di kantor Kementerian PUPR, Jakarta pada 23 Mei 2023.
Kualitas juga dapat dilihat dari kondisi kemantapan jalan. Jalan yang mantap memiliki kondisi baik dan sedang, sementara jalan tidak mantap berarti mengalami rusak ringan atau berat.
Berdasarkan data Renstra Ditjen Bina Marga, sebanyak 92,81% jalan digolongkan mantap pada 2019. Persentase itu sebetulnya terus meningkat dari lima tahun sebelumnya, tetapi tidak mencapai target 98% yang ditetapkan pada tahun yang sama.
Persentase jalan yang mantap pun sempat turun menjadi 91,26% pada 2020 dan 91,81% pada 2021. Angkanya baru kembali naik menjadi 92,2% pada 2022. Artinya, masih ada sekitar 8% jalan nasional di Indonesia yang rusak dan perlu diperbaiki demi mendukung daya saing dan produktivitas masyarakat.
Editor: Aria W. Yudhistira