Advertisement
Advertisement
Analisis | Ke Mana Suara Pendukung Jokowi dan Swing Voters Berlabuh pada Pilpres 2024? - Analisis Data Katadata
ANALISIS

Ke Mana Suara Pendukung Jokowi dan Swing Voters Berlabuh pada Pilpres 2024?

Foto: Joshua Siringo ringo/ Ilustrasi/ Katadata
Tingkat kepuasan masyarakat terhadap kinerja Presiden Jokowi masih sangat tinggi, mendekati 80%. Karena itulah, dua bakal capres yaitu Prabowo Subianto dan Ganjar Pranowo berebut dukungan dari Jokowi. Namun, bakal capres Anies Baswedan bisa menjaring suara dari pendukng lain. Sementara kemenangan dalam Pilpres 2024 akan ditentukan kemampuan para capres merebut “swing voters”.
Andrea Lidwina
7 Juni 2023, 18.08

Dari ketiga bakal calon presiden (capres), elektabilitas Anies Baswedan kerap berada di posisi buncit. Misalnya, dalam survei Saiful Mujani Research and Consulting (SMRC) pada 23-24 Mei 2023, Ganjar Pranowo memimpin dengan angka elektabilitas 35,9%. Kemudian, diikuti Prabowo Subianto sebesar 32,8%. Sedangkan Anies hanya memperoleh 20,1%.

Survei yang dilakukan Indikator dan Charta Politika pada Mei 2023 juga menunjukkan pola serupa. Ganjar dan Prabowo berbalapan di posisi pertama dan kedua, dengan kisaran angka 30%. Sedangkan, Anies terus bertengger di tempat ketiga, dengan kisaran angka 20%. 

Meski posisi elektabilitasnya kurang menguntungkan, Anies tetap diperhitungkan dan dianggap sebagai lawan kuat. Malahan, menurutnya, kubu-kubu lain terus memberikan tekanan kepada pihaknya.

“Kalau di survei (elektabilitas) nomor tiga, buat apa dijegal? Kan nomor tiga,” kata Anies dalam acara Milad PKS ke-21 di Yogyakarta pada 18 Mei 2023, seperti dikutip dari detikJateng.

Anies Tidak Dapat Insentif Elektoral Jokowi

Pada akhir 2022, tingkat elektabilitas Ganjar, Prabowo, dan Anies sebetulnya hanya terpaut tipis. Posisi Anies pun sempat lebih tinggi dari Prabowo. Namun memasuki 2023, angka elektabilitas ketiganya mulai menuju arah berbeda. 

Tingkat keterpilihan Ganjar dan Prabowo konsisten di kisaran 30% dalam 5-6 bulan terakhir, sedangkan angka milik Anies semakin menurun. Perolehan tersebut tampaknya turut dipengaruhi sosok dan citra Presiden Joko Widodo.

Pada waktu yang sama, Jokowi begitu Joko Widodo biasa dipanggil, kerap menunjukkan kedekatannya dengan Ganjar dan Prabowo. Misalnya, Jokowi mengajak keduanya ikut serta dalam kunjungan kerja meninjau hasil panen di Jawa Tengah pada medio Maret 2023.

Kedekatan semacam itu belum pernah terjadi antara sang presiden dan Anies setelah dirinya turun dari gubernur DKI Jakarta.

Perilaku politik tersebut sejalan dengan temuan SMRC mengenai korelasi antara kepuasan terhadap kinerja Jokowi dan tingkat keterpilihan bakal capres. Bagi Ganjar, kinerja dan elektabilitas itu berkorelasi positif. “Ketika kinerja Jokowi dinilai semakin baik, maka elektabilitas Ganjar cenderung naik,” tulis SMRC.

Bagi Prabowo, kinerja Jokowi dan elektabilitasnya sempat berkorelasi negatif sejak pertengahan 2021 hingga Oktober 2022. Namun, polanya berubah menjadi berkorelasi positif, seperti Ganjar, pada bulan berikutnya hingga sekarang.

Sementara, elektabilitas Anies konsisten berkorelasi negatif dengan tingkat kepuasan terhadap kinerja Jokowi. Semakin baik kinerja Jokowi, maka semakin turun elektabilitas Anies. Korelasi negatif itu pun kian kuat sejak akhir tahun lalu—saat Jokowi mulai akrab dengan dua bakal capres lainnya.

Alhasil, mayoritas responden yang puas dengan kinerja Jokowi memberikan dukungannya pada Ganjar (43%). Sebaliknya, mereka yang tidak puas dengan kinerja presiden mendukung Anies (39%). Adapun, dukungan untuk Prabowo tidak jauh berbeda, yakni 30% dari yang puas dan 35% yang tidak puas.

Tidak hanya perihal kedekatan, sebanyak 44,5% responden dalam survei SMRC menilai Ganjar paling bisa melanjutkan program-program Jokowi, salah satunya pembangunan ibu kota negara (IKN) baru. 

Sebaliknya, Anies dinilai kemungkinan besar tidak akan melanjutkan program Jokowi jika nanti terpilih sebagai presiden. Sebanyak 30,3% responden mengatakan hal tersebut, menjadi persentase paling tinggi dibandingkan kandidat capres lain.

Dalam hal ini, Prabowo konsisten berada di posisi kedua. Sebanyak 25% responden menganggap dia akan melanjutkan program pemerintah saat ini, tetapi sebanyak 19,6% responden pun punya penilaian sebaliknya.

Dengan begitu, Ganjar dan Prabowo tengah menikmati “insentif elektoral” dari kedekatannya dengan Jokowi. Persepsi publik pun menilai program pemerintahan yang akan mereka jalankan nanti masih mengekor sang presiden. Hasilnya terlihat dari elektabilitas Ganjar dan Prabowo yang terus berada di puncak.

Sedangkan, kemewahan itu tidak dimiliki Anies, yang lantas membuat tingkat keterpilihannya belum merangkak naik lagi.

Mengapa Anies Masih Dianggap Lawan Kuat?

Pada Oktober 2022, politikus Partai NasDem Zulfan Lindan menyebut Anies sebagai “antitesis Jokowi”. Menurutnya, mengusung bakal capres yang berlawanan dengan presiden dapat menghasilkan sintesis yang “lebih dahsyat” pada periode mendatang. 

Seperti dilansir CNN Indonesia, Zulfan lantas dinonaktifkan dari kepengurusan partai karena pernyataannya tersebut. Lalu, pada akhir Maret 2023, dia menyatakan keluar dari NasDem.

Direktur Eksekutif Aljabar Strategic Arifki Chaniago mengatakan Anies adalah sosok yang memiliki “diferensiasi pemilih sendiri,” seperti dilansir dari Merdeka pada Oktober 2022. Dengan demikian, dia bisa menjadi ancaman bagi koalisi partai politik lain.

Dua pernyataan di atas menunjukkan Anies sebetulnya memiliki “kolam” sendiri. Dia terpisah dan tidak bergantung pada Jokowi untuk mengantongi suara masyarakat sejauh ini. Anies tidak pernah tampil bersama Jokowi, pun tidak pernah disebut namanya oleh sang presiden dalam banyak kesempatan.

Mantan Gubernur DKI Jakarta itu kini juga banyak mengkritik program dan kebijakan Jokowi selama memerintah. Salah satunya, dalam pemberian subsidi mobil listrik yang tidak tepat sasaran.

Sementara, Ganjar dan Prabowo kini berada dan berbagi “kolam” yang sama. Keduanya sering tampil bersama Jokowi dan di-endorse oleh sang presiden. Keduanya pun dianggap sejalan dengan presiden dan akan meneruskan program-program kerjanya.

Karena itu, dua bakal capres ini dapat dikatakan berenang di kolam yang sama—kolam yang setidaknya berisi masyarakat yang puas dengan kinerja Jokowi.

Namun, berbagi kolam yang sama juga tak mudah. Direktur Riset SMRC Deni Irvani mengatakan, Ganjar dan Prabowo tidak bisa dikatakan unggul dari satu sama lain. Sebab, tingkat keterpilihan mereka cuma berbeda tipis, yakni sekitar 3-4%.

“Minimal selisih (elektabilitas Ganjar dan Prabowo) 6%. Itu baru meyakinkan siapa yang unggul,” kata Deni, seperti dikutip dari YouTube SMRC TV.

Selain itu, elektabilitas bakal capres belum sepenuhnya berasal dari strong voter atau pemilih loyal. Angka keterpilihan mencakup swing voter yang kurang loyal dan berpotensi memindahkan dukungannya kepada kandidat capres lain.

Hasil survei Litbang Kompas menunjukkan elektabilitas Ganjar sekitar 25-37% pada awal 2023. Namun, hanya sekitar 14-18% di antaranya yang termasuk strong voter, sementara sisanya swing voter. Ganjar pun belum bisa memastikan kemenangannya pada Pemilu 2024 jika hanya mengandalkan pemilih loyal.

Para swing voter masih punya sejumlah pilihan. Mereka bisa menjadi pemilih loyal Ganjar, tetapi bisa pula berpindah menjadi pendukung kuat Prabowo atau Anies. Jika melihat kolam-kolam para bakal capres, Ganjar dan Prabowo harus bersaing merangkul para pemilih ini di kolam yang sama.

Sementara, Anies yang punya kolam sendiri berpotensi diuntungkan. Dia menawarkan sesuatu yang “berbeda,” bahkan berlawanan dengan pemerintah sekarang. Ketika pemilih berpindah dan masuk ke kolamnya, Anies pun tidak harus bersaing atau berbagi suara dengan bakal capres lain.

Pengalaman Pilkada DKI Jakarta 2017 

Sewaktu mengikuti kontestasi pemilihan kepala daerah (Pilkada) DKI Jakarta 2017, tingkat elektabilitas Anies yang berpasangan dengan Sandiaga Uno juga kalah dari pasangan petahana Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) dan Djarot Saiful Hidayat. 

Misalnya, hasil survei Median dan SMRC menunjukkan tingkat keterpilihan Ahok-Djarot sekitar 34% pada akhir 2016 dan awal 2017. Sementara, angkanya untuk Anies-Sandi ada di kisaran 25-26%.

Semakin mendekati pesta demokrasi tersebut, elektabilitas kedua pasangan ini sebetulnya sama-sama meningkat. Namun, berdasarkan hasil survei Poltracking, angka keterpilihan pasangan petahana masih memimpin dengan 37,3%.

Hasil Pilkada DKI Jakarta 2017 pun punya pola serupa. Ahok-Djarot memperoleh 42,99% suara, diikuti Anies-Sandi 39,95% dan Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) dan Sylviana Murni 17,06%. Karena tidak ada pasangan yang mendapat suara di atas 50%, pilkada pun berlanjut ke putaran kedua.

Pada putaran kedua ini, Anies-Sandi mampu merangkul para pemilih AHY-Sylvi, sehingga tingkat keterpilihan pasangan ini tercatat lebih tinggi dari Ahok-Djarot. Salah satunya terlihat dalam hasil survei yang dirilis Median. Anies-Sandi unggul dengan 49% ketimbang Ahok-Djarot yang sebesar 47,1%.

Elektabilitas itu pun terbukti pada putaran kedua pilkada. Anies-Sandi mengantongi 57,96% total suara, lebih tinggi 16% dari Ahok-Djarot. Alhasil, mereka didapuk sebagai Gubernur dan Wakil Gubernur DKI Jakarta.

Made with Flourish 

Ditambah lagi jika melihat pola pilpres-pilpres sebelumnya, presiden terpilih biasanya merupakan antitesis dari presiden petahana. Misalnya, SBY merupakan antitesis dari Megawati, begitu pula Jokowi berlawanan dengan SBY.

Jika mempertimbangkan pola ini, posisinya yang berseberangan dengan Jokowi justru menunjukkan Anies masih memiliki potensi menang pada pilpres mendatang. 

Barangkali hal ini yang membuat Anies tidak terlalu mengkhawatirkan hasil survei sejumlah lembaga yang menempatkan elektabilitasnya lebih rendah daripada kandidat lain. Mungkin pula hal ini membuatnya merasa ada yang ingin menjegalnya sebagai capres pada Pilpres 2024. 

Editor: Aria W. Yudhistira