Muda, kaya raya, dan berkuasa adalah gambaran milenial yang saat ini menjabat sebagai bupati atau wali kota. Mereka berusia di bawah 40 tahun, sebagian bahkan masih berusia 20-an tahun saat pertama kali terpilih dalam pemilihan kepala daerah (Pilkada) pada 2020.
Dalam catatan Katadata, terdapat 24 milenial yang berhasil memenangi pertarungan Pilkada 2020. Beberapa dari mereka bahkan telah terpilih untuk kali kedua.
Usia muda memang seringkali menjadi jualan dalam pasar politik di Indonesia. Orang muda kerap dianggap membawa gagasan baru dan akan membuat perubahan yang lebih baik bagi masyarakat. Mereka dinilai berbeda dari para politisi senior yang sudah nyaman menempati bangku kekuasaan.
Politisi muda dianggap lebih relevan atau dekat dengan isu-isu yang menjadi perhatian para pemilih muda. Apalagi berdasarkan hasil rekapitulasi Komisi Pemilihan Umum (KPU), sekitar 56,5% dari daftar pemilih tetap Pemilu 2024 termasuk pemilih muda. Rinciannya, sebanyak 33,6% generasi milenial (27-41 tahun) dan 22,9% generasi Z (17-26 tahun).
Jalan Mulus dari Trah Politik
Namun usia muda bukan jalan untuk menembus tirai politik tanah air. Tidak dapat dipungkiri, para milenial ini berasal dari kelompok elite Indonesia baik di dunia politik maupun ekonomi.
Dari 24 kepala daerah milenial, Katadata mencatat sebanyak 18 orang di antaranya memiliki hubungan kekerabatan dengan tokoh politik senior. Tokoh senior ini pernah dan sedang memegang jabatan politik, baik di tingkat nasional maupun di daerah yang sekarang dipimpin para politisi muda tersebut.
(Baca: Jejaring Dinasti Politik di Pilkada 2020)
Sebagai contoh, Wali Kota Surakarta Gibran Rakabuming Raka dan Wali Kota Medan Muhammad Bobby Afif Nasution (Bobby Nasution). Gibran adalah anak Presiden Joko Widodo, sementara Bobby adalah menantu sang presiden. Keduanya bergabung di PDI Perjuangan, partai politik yang juga “membesarkan” nama Jokowi
Gibran dan Bobby terpilih sebagai wali kota pada periode kedua pemerintahan Jokowi. Ini sekaligus merupakan kali pertama dalam sejarah politik Indonesia, anak dan menantu presiden aktif menjabat sebagai kepala daerah.
Contoh lain, Bupati Ogan Ilir Panca Wijaya Akbar. Ayahnya, Mawardi Yahya, menjabat kepala daerah di kabupaten yang sama pada 2005-2015, kemudian menjadi Wakil Gubernur Sumatera Selatan sejak 2018.
Selain sang ayah, kakak Panca yang bernama Ahmad Wazir Noviadi pernah menjadi orang nomor satu di Ogan Ilir pada 2016-2017, sebelum akhirnya ditangkap karena kasus narkoba.
Termasuk Elite Ekonomi
Dari daftar yang disusun Katadata, ke-24 kepala daerah milenial ini memiliki median kekayaan sebesar Rp10,7 miliar. Berdasarkan Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara (LHKPN) 2022, kekayaan tertinggi dimiliki Wali Kota Medan Bobby Nasution sebesar Rp55,9 miliar. Sedangkan yang terendah dimiliki Bupati Dharmasraya Sutan Riska Tuanku Kerajaan sebesar Rp3,6 miliar.
Jika mengacu pada World Inequality Database, median kekayaan mereka jauh di atas rata-rata kekayaan penduduk dewasa Indonesia pada 2021 yang sebesar Rp148,1 juta. Jika digolongkan berdasarkan kelompok kekayaannya, mereka termasuk dalam kelompok 1% teratas yang memiliki rata-rata kekayaan Rp2,26 miliar.
Jadi meskipun ada kepala daerah milenial yang tidak memiliki hubungan kekerabatan dengan tokoh politik senior, tetapi mereka termasuk dalam golongan elite ekonomi. Salah satunya, Bupati Trenggalek Mochamad Nur Arifin. Dalam LHKPN 2022, dia memiliki kekayaan sebesar Rp42,9 miliar yang mayoritas berasal dari warisan.
Seperti dikutip dari Kompas.com, Arifin mulanya melanjutkan bisnis keluarga yang bergerak di bidang penjualan alat-alat rumah tangga di Surabaya. Di Trenggalek, dia kemudian membangun pabrik yang menampung pekerja lokal.
Dia juga menjalankan program tanggung jawab sosial (CSR) dari perusahaannya, yang menyasar para petani dan nelayan di Trenggalek. Melalui program ini, Arifin mulai dikenal oleh tokoh-tokoh politik di kabupaten itu, termasuk Emil Dardak .
Arifin lantas maju sebagai calon Wakil Bupati Trenggalek, mendampingi Emil yang mencalonkan diri sebagai Bupati Trenggalek, pada Pilkada 2015.
(Baca: Ekonomi Melesat tapi Kesenjangan Kian Melebar Pasca-Krisis 1998)
Bupati Gresik Fandi Akhmad Yani juga bukan berasal dari trah politik nasional maupun daerah. Meski begitu, dia berasal dari keluarga pebisnis dan ulama di kota santri tersebut. Selepas kuliah, Fandi kemudian memimpin perusahaan keluarga PT Yani Putra yang bergerak di bidang transportasi dan logistik. Dalam LHKPN 2022, total kekayaan Fandi tercatat sebesar Rp20,03 miliar.
Bisnis memang menjadi sumber utama kekayaan kepala daerah milenial. Ini juga dilakoni Gibran Rakabuming, Bobby Nasution, serta Bupati Kediri Hanindhito Himawan Pramana.
Gibran memiliki kekayaan Rp26 miliar mempunyai beragam bisnis dari kuliner, jasa perawatan produk Apple, sampai aplikasi pencari kerja. Sementara sang ipar Bobby Nasution menjabat sebagai komisaris perusahaan properti Wirasena Citra Reswara. Perusahaan ini menangani proyek rumah subsidi pemerintah di Sukabumi, Jawa Barat.
Hanindhito Himawan Pramana yang memiliki kekayaan Rp21,9 miliar saat ini diketahui menjabat Komisaris Sigfox Indonesia, perusahaan yang mengakomodasi kebutuhan internet of things (IoT). Dia juga menjadi komisaris di PT Idana Solusi Sejahtera, yang menaungi layanan pinjaman daring Cairin.
(Baca: Potret Kekayaan Konglomerat, Pejabat, dan Masyarakat Indonesia)
Ancaman dari Politik Dinasti
Hubungan kekerabatan tersebut tentu menguntungkan para politisi muda. Menurut Dewi dkk. (2017) dalam buku Gender and Politics in Post-Reformasi Indonesia, politisi berusia muda ini memiliki peluang lebih besar untuk maju, melakukan konsolidasi politik, bahkan memenangi pemilihan umum.
Dalam kasus Gibran dan Bobby, misalnya, akses mereka ke partai-partai politik terbuka lebar saat akan mencalonkan diri sebagai kepala daerah, lantaran sudah didahului Jokowi. Alhasil, mereka bisa dengan mudah diusung dan memperoleh dukungan dari sejumlah partai politik.
Namun, keterpilihan politisi muda karena pengaruh hubungan kekerabatan ini menyirnakan anggapan awal bahwa mereka bisa membawa gagasan dan perubahan baru. Pasalnya, hubungan kekerabatan itu berpotensi membentuk dinasti politik.
Aspinall dan As’ad (2016) dalam artikel “Understanding family politics: Successes and failures of political dynasties in regional Indonesia” di jurnal South East Asia Research mendefinisikan dinasti politik sebagai kondisi saat sebuah keluarga mampu memperluas kekuasaan politiknya.
Artinya, ketika pembentuk dinasti atau orang pertama di tampuk pimpinan ini lengser, posisinya akan digantikan langsung oleh anggota keluarganya. Suksesi ini bisa terjadi secara intra-generasi (suami/istri dan kakak-adik) maupun inter-generasi (anak dan menantu).
“Proses suksesi ini makin sering terjadi di Indonesia karena ada batasan masa jabatan kepala daerah (dua kali masa jabatan),” kata Aspinall dan As’ad.
Dinasti politik pun bisa terbentuk secara horizontal. Suksesi tidak terjadi pada posisi yang sama, tetapi beberapa anggota keluarga memiliki kekuasaan di lembaga-lembaga pemerintahan lain atau wilayah geografis berbeda. Mereka juga tetap dapat membantu mobilisasi dukungan dalam kampanye politik.
Akibatnya, dinasti politik cenderung memunculkan sikap korup pada kepala daerah. Mereka akan lebih banyak mempertimbangkan hubungan dan keuntungan para kerabatnya dalam membuat kebijakan, bukan mengutamakan kepentingan rakyat.
Kemudian, tumbuhnya dinasti politik juga membatasi kesempatan para politisi muda lain dan hadirnya gagasan baru dalam kontestasi politik daerah. Akhirnya, dinasti politik dapat mencederai demokrasi itu sendiri.
Editor: Aria W. Yudhistira