Isu keretakan antara Joko Widodo dan Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) mencuatkan wacana bakal turunnya perolehan suara partai berlambang banteng moncong putih itu pada Pemilu 2024. Pada dua kali pemilu terakhir, suara PDIP memang mengalami kenaikan seiring dengan pencalonan Jokowi, panggilan populer Joko Widodo, sebagai presiden.
PDIP adalah perahu Jokowi saat mengarungi lautan politik tanah air sejak 2005, ketika dia bertarung sebagai calon wali kota Surakarta. Partai ini juga yang mengantarkannya menjadi gubernur DKI Jakarta pada 2012 hingga memenangkan Pemilihan Presiden (Pilpres) 2014 dan 2019.
Tak hanya Jokowi, partai yang dipimpin Megawati Soekarnoputri ini juga membuka jalan bagi anak sulungnya Gibran Rakabuming Raka menjadi wali kota Surakarta dan menantunya Bobby Nasution menjadi wali kota Medan pada 2020.
Gregory Coles (2018) dalam “What Do I Lack as a Woman?: The Rhetoric of Megawati Sukarnoputri” menggambarkan Megawati sebagai ibu sekaligus pengganti figur ayah. Megawati sendiri menyematkan dirinya sebagai sosok “ibu” yang menempatkan dirinya sebagai kepala keluarga di partainya sekaligus ibu bangsa (“national mother”). Dia pun kerap memanggil anggota dan kader PDIP dengan sebutan “anak-anak PDI saya”.
Posisi ibu-anak ini pula yang ditunjukkan Megawati ketika memutuskan tidak akan maju menjadi calon presiden dan memilih mencalonkan Jokowi pada 2014. Megawati mengatakan, karena dirinya sudah berpengalaman, dan dia berharap anak-anaknyalah yang mendapat pengalaman untuk mengambil otoritas.
Pola hubungan ini yang membuat PDIP seperti layaknya keluarga besar. Makanya tidak heran ketika Jokowi dan anak-anaknya memilih berseberangan dengan jalan yang telah dipilihkan oleh sang “ibu” memunculkan kekecewaan dari anggota keluarga besar PDIP lainnya.
Seperti yang disampaikan Sekretaris Jenderal PDIP Hasto Kristiyanto saat menyikapi pencalonan Gibran Rakabuming Raka sebagai wakil presiden mendampingi Prabowo Subianto.
“Kami begitu mencintai dan memberikan privilege begitu besar kepada Presiden Jokowi dan keluarga, namun kami ditinggalkan,” kata Hasto dalam keterangan tertulis, pada Minggu, 29 Oktober lalu.
Faktor Jokowi dan Potensi Hilangnya Suara PDIP
Retak hubungan dengan Jokowi berpotensi menggerus suara PDIP, kata Nyarwi Ahmad, dosen komunikasi politik Universitas Gadjah Mada (UGM). Dia memperkirakan bakal terjadi pergeseran suara yang tadinya akan memilih pasangan Ganjar Pranowo – Mahfud MD yang didukung PDIP ke pasangan Prabowo – Gibran.
Namun di sisi lain, sebagai partai yang sudah berada di dalam lingkar kekuasaan selama hampir 10 tahun terakhir, saat ini adalah waktu yang tepat bagi PDIP untuk menunjukkan diri sebagai partai yang mandiri lepas dari ketergantungan pada sosok Jokowi.
“Nah, sebenarnya ini momentum untuk menegaskan bahwa PDIP ini partai populis, seperti ketika 2014 saat mengusung Jokowi,” kata Nyarwi saat dihubungi Katadata.co.id pada Jumat, 10 November 2023.
Persoalannya, mesin politik PDIP belum berjalan. Begitu juga iklim pemilu saat ini tidak seperti 2014 yang menguntungkan PDIP saat mengusung Jokowi. Pada saat itu, mesin-mesin pembentuk opini untuk memilih partai yang juga identik dengan simbol Soekarno tersebut berjalan cukup masif.
“Rumusnya kayak Shakespeare, fighting fire with fire. Kalau berkompetisi dengan populis maka harus dengan populisme juga. Jokowi itu populis, awalnya ya. Problemnya ganjar itu tidak sepopulis Jokowi.” kata Nyarwi.
Hasil survei Indikator Politik Indonesia yang dirilis 20 Oktober 2023 menunjukkan Jokowi masih menjadi faktor penentu pemilih untuk mencoblos PDIP pada pemilu mendatang. Sebanyak 27,3% responden memang mengaku memilih PDIP karena terbiasa memilih partai tersebut. Namun 21,9% mengaku karena suka dengan mantan gubernur DKI Jakarta itu.
Keterkaitan antara ketokohan Jokowi terhadap elektabilitas PDIP juga terlihat dari tingkat kepuasan masyarakat terhadap presiden. Naik turunnya kepuasan masyarakat selaras dengan naik turunnya elektabilitas PDIP. Menurut Nyarwi, kondisi ini dikarenakan Jokowi berhasil mempersempit ruang oposisi.
“Ketika tingkat kepuasan rakyat terhadap Jokowi tinggi, artinya ruang masyarakat yang tidak puas sedikit. Hal tersebut juga dapat diartikan ruang oposisi juga semakin sempit,” kata dia.
“Para oposisi Jokowi di periode dua ini juga sudah dirangkul semua, artinya makin tidak ada ruang oposisi dan tentu menyebabkan kepuasan ini juga naik.” tutur Nyarwi.
Partainya Wong Cilik
Alasan karena terbiasa memilih PDIP yang tercatat dari hasil survei Indikator Politik Indonesia sebetulnya menunjukkan bahwa partai yang identik dengan warna merah tersebut memiliki pemilih loyal. Hasil survei Litbang Kompas pada 25 Januari hingga 4 Februari 2023 pun mencatat hal yang sama, partai banteng ini memiliki pemilih tetap sebesar 45,7%. Porsinya hanya lebih sedikit dari Partai Amanat Nasional (PAN) yang sebesar 50%.
Hal ini menunjukkan bahwa loyalitas pemilih PDIP tidak semata didorong oleh popularitas tokoh-tokohnya. Salah satunya karena idealisme dan pondasi partai yang mengakar. Hal ini diperkuat dengan pencitraan partai tersebut sebagai wakil suara wong cilik.
Citra wong cilik ini pula yang membuat Megawati memberikan dukungan terhadap Jokowi untuk menjadi calon presiden (capres) pada 2014. “Si kerempeng (Jokowi) ini senangnya blusukan. Kalau saya ke Solo, Bu kita jalan-jalan kemana? Ke tempat kumuh? Entah kemana tapi saya lihatin terus ini orang,” ujar Megawati saat berpidato di Rakernas Partai Nasdem pada 27 Mei 2014.
Karakter sebagai partai populis ini pernah dimainkan PDIP pada Pemilu 1999. Pada pemilu pertama era Reformasi tersebut, PDIP berhasil menjadi pemuncak dengan memperoleh 35,6 juta suara (33,7%). Ketika itu, PDIP dinilai berhasil memanfaatkan momentum dengan menjadi antitesis Golkar yang telah berkuasa selama 32 tahun era Orde Baru yang dinilai sarat dengan praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN).
Sebagai partai wong cilik, membuat PDIP memiliki posisi yang jelas dan bermakna dalam perpolitikan di tanah air. PDIP ketika itu dinilai sebagai simbol perlawanan rakyat yang terpinggirkan oleh rezim Orde Baru, sekaligus pembeda dengan partai-partai lain.
Editor: Aria W. Yudhistira