Mengenal UU PPSK, Omnibus Law Keuangan yang Juga Mengatur Aset Kripto

Dzulfiqar Fathur Rahman
16 Desember 2022, 10:27
Ilustrasi peretasan dana kripto
Olya Kobruseva/Pexels
Ilustrasi peretasan dana kripto

Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) bersama pemerintah mengesahkan UU Pengembangan dan Penguatan Sistem Keuangan (PPSK) pada Kamis, 15 Desember 2022. UU PPSK ini merupakan UU sapu jagat di sektor keuangan, terutama dalam menghadapi krisis dan beradaptasi dengan perkembangan teknologi. 

Terdiri dari 27 bab dan 341 pasal, UU PPSK mengubah 17 UU di sektor keuangan. Ini mencakup UU tentang Bank Indonesia (BI), Otoritas Jasa Keuangan (OJK), Lembaga Penjaminan Simpanan (LPS), Perbankan, Perbankan Syariah, Perasuransian, Pasar Modal, Perdagangan Berjangka Komoditi, Surat Utang Negara (SUN), Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN), Lembaga Pembiayaan Ekspor Indonesia (LPEI), dan Pencegahan dan Penanganan Krisis Sistem Keuangan.

(Baca: DPR Setujui RUU PPSK Jadi Undang-undang, Simak Pasal-pasal Pentingnya

Anggota DPR dari Fraksi PDIP Dolfie Othniel Frederic Palit mengatakan, proses pembahasan UU ini sudah dilakukan sejak November 2021. Revisi sejumlah UU dilakukan setelah melihat otoritas di sektor keuangan memiliki gerak terbatas untuk mengantisipasi dampak ekonomi dari pandemi Covid-19.

Di sisi lain, konsumen dan bisnis telah mengadopsi teknologi keuangan dengan cepat, seperti aset kripto.

Sebagian perubahan-perubahan besar dalam UU PPSK berkaitan dengan respons terhadap krisis dan perkembangan teknologi di sektor jasa keuangan.

Antisipasi Krisis

Salah satu poin perubahan dalam UU PPSK adalah peran Bank Indonesia. Dalam UU ini mandat BI ditambah untuk ikut “mendukung pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan.” Sebelumnya, dalam UU Nomor 23 tahun 1999 yang kemudian diubah menjadi UU Nomor 4 tahun 2003, BI memiliki tujuan tunggal, yaitu “mencapai dan memelihara kestabilan nilai rupiah.”

Secara eksplisit UU PPSK menugaskan BI untuk “menetapkan dan melaksanakan kebijakan makroprudensial.” Perubahan ini berkaitan dengan peran BI selama pandemi Covid-19 dalam mendorong pemulihan dan pertumbuhan ekonomi. Ini terlihat antara lain menjaga tingkat suku bunga acuan.

Dari segi kebijakan makroprudensial, BI juga telah menjaga stabilitas sistem keuangan dan mendorong pemulihan lewat berbagai inisiatif. Salah satunya adalah melonggarkan rasio pinjaman terhadap nilai aset (LTV) untuk properti hingga 100%. Ini meringankan beban uang muka bagi konsumen.

UU PPSK juga menandai terbitnya landasan hukum untuk peran BI terkait monetisasi utang pemerintah saat terjadi krisis. UU sapu jagat ini menambahkan tiga pasal ke dalam UU tentang Pencegahan dan Penanganan Krisis Sistem Keuangan.

Salah satu pasal barunya mengatur tentang kewenangan BI untuk “membeli Surat Berharga Negara (SBN) berjangka panjang di pasar perdana” untuk mengatasi masalah di sistem keuangan yang mengancam ekonomi Indonesia.

Seperti bank sentral di negara-negara lain, BI telah membeli surat-surat utang pemerintah selama pandemi COVID-19. Kewenangan ini merujuk ke UU Nomor 2 Tahun 2020 tentang kebijakan untuk menangani dampak ekonomi dari pandemi. 

BI dengan demikian menjadi pembeli siaga (standby buyer) untuk surat utang pemerintah. Hingga 15 November 2022, BI telah membeli Rp142,35 triliun SBN di pasar perdana, menurut Gubernur BI Perry Warjiyo.

UU PPSK juga menyatakan secara eksplisit bahwa pembelian SBN oleh BI tergantung pada keputusan Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK). Di bawah UU sapu jagat ini, Menteri Keuangan memperoleh kewenangan untuk mengambil keputusan atas nama KSSK ketika musyawarah dan pengambilan suara gagal.

Teknologi Keuangan

UU PPSK memiliki satu bab khusus soal teknologi keuangan, yaitu Bab XVI. Menurut Pasal 213, ruang lingkupnya meliputi sistem pembayaran, penyelesaian transaksi surat berharga, penghimpunan modal, pengelolaan investasi, pengelolaan risiko, penghimpunan dan/atau penyaluran dana, pendukung pasar, aktivitas terkait aset keuangan digital seperti aset kripto, dan aktivitas jasa keuangan digital lainnya.

Baik BI dan OJK akan melakukan pengaturan dan pengawasan terhadap teknologi keuangan sesuai kewenangan masing-masing, menurut pasal 216.

Untuk OJK, UU PPSK menambahkan tugas lembaga tersebut untuk mengatur dan mengawasi teknologi keuangan dan aset keuangan digital seperti aset kripto. Untuk itu, OJK akan memiliki anggota dewan komisioner baru, yaitu Kepala Eksekutif Pengawas Inovasi Teknologi Sektor Keuangan, Aset Keuangan Digital dan Aset Kripto.

OJK sudah memiliki Satuan Tugas Waspada Investasi (SWI). Walaupun pengawasan terhadap aset kripto bukan tugasnya secara eksplisit, SWI telah menutup beragam platform investasi ilegal. Di antara platform yang telah ditutup, ada 96 platform yang berkaitan dengan aset kripto, menurut data SWI per 15 Desember 2022.

Di samping aset kripto, UU PPSK juga mengatur tentang rupiah digital dengan mengubah UU Nomor 7 Tahun 2011 tentang Mata Uang. UU sapu jagat itu menulis bahwa “BI merupakan satu-satunya lembaga yang berwenang melakukan pengelolaan Rupiah digital.”

BI telah meluncurkan pada November 2022 makalah tentang Proyek Garuda, yaitu inisiatif yang mengeksplorasi desain mata uang digital bank sentral (CBDC) Indonesia atau rupiah digital. BI telah memetakan tiga tahap pengembangan mata uang digital ini. Tahap pertamanya adalah konsultasi publik, kemudian eksperimen teknologi, dan berakhir dengan peninjauan atas posisi kebijakan.

Per Juli 2022, ada empat CBDC yang telah masuk tahap implementasi di dunia, yaitu di Bahamas, Eastern Caribbean, Nigeria, dan Jamaica, menurut data dari Bank for International Settlements (BIS). Pada saat yang sama, ada 29 CBDC yang berada dalam tahap uji coba. BIS juga melaporkan bahwa 72 bank sentral telah mengumumkan bahwa mereka sedang mengerjakan mata uang digital.

Reporter: Dzulfiqar Fathur Rahman

Cek juga data ini

Berita Katadata.co.id di WhatsApp Anda

Dapatkan akses cepat ke berita terkini dan data berharga dari WhatsApp Channel Katadata.co.id

Ikuti kami

Artikel Terkait

Video Pilihan
Loading...