Laris Manis Gula Semut Andalan Petani Hutan Lestari

Fitria Nurhayati
Oleh Fitria Nurhayati - Tim Riset dan Publikasi
28 September 2020, 18:26
Proses memasak nira sebelum jadi gula semut dilakukan secara mandiri di rumah petani.
Sahal Wahono-Kemitraan
Proses memasak nira sebelum jadi gula semut dilakukan secara mandiri di rumah petani.

Pagi, sekitar pukul 06.00 waktu Indonesia bagian tengah, para petani nira Kelompok Tani Hutan (KTH) Buhung Lali Desa Bukit Harapan, Kecamatan Gantarang, Bulukumba, Sulawesi Selatan, berjalan kaki menyibak kabut. Mereka menuju kebun aren di kawasan hutan untuk menyadap nira. Jarak yang ditempuh tidak terlalu jauh dari rumah, sekitar 1-2 km saja.

Sesampainya di kebun, para petani menyiapkan alat sadap seperti pisau penyadap, jerigen, daun kayu, dan plastik bening untuk wadah hasil sadapan. Ada proses unik dalam menyadap. Tandan ditoki-toki dulu, atau diketuk-ketuk lembut untuk mengumpulkan getah di ujung buah nira. Setelah beberapa menit, ujung buah baru dipotong supaya getah keluar.

Advertisement

Untuk sekali sadap, masing-masing petani bisa menyadap dua sampai tujuh pohon paling banyak. Butuh waktu kurang lebih dua jam untuk mengumpulkan nira. Setelah nira terkumpul, mereka kembali ke rumah untuk mengolah nira. 

Petani mengambil nira yang sudah terkumpul di dirijen
Petani mengambil nira yang sudah terkumpul di dirijen (Sahal Wahono-Kemitraan)

KTH Buhung Lali berada di bawah Hutan Kemasyarakatan (HKm) Bulukumba. KTH mendapatkan SK pada 2011 dan mendapat wilayah kelola seluas 78 hektare. Sejak 2014, KTH Buhung Lali dikenal sebagai kelompok penghasil gula semut. Namun, sebelum memproduksi gula semut, anggota KTH memproduksi gula batok yaitu gula aren yang dipadatkan dalam cetakan. Aren yang merupakan bahan baku gula semut dan gula batok merupakan komoditi unggulan yang dimiliki masyarakat.

Fasilitator Lapangan Sulawesi Community Foundation (SCF) Ikrar Andriansyah mengatakan, “Status kawasan berupa hutan produksi. Ada banyak ragam tanaman di sana. Kami pilih yang paling berpotensi yaitu aren.”

Ketua kelompok KTH Buhung Lali Muhammad Tamrin Haji Tama kemudian berpikir bagaimana meningkatkan nilai jual aren. Ini dikarenakan harga jual gula batok tidak stabil dan umur penyimpanan tidak bertahan lama. “Paling lama hanya dua bulan. Kalau sudah menjelang dua bulan, gula meleleh, harga gula batok jadi turun drastis,” tuturnya.

Tamrin beserta anggota kelompoknya kemudian berdiskusi dengan SCF yang merupakan salah satu LSM pendamping HKm Bulukumba.  Kesimpulannya, anggota kelompok sepakat memproduksi gula semut. Alasannya, umur simpan gula semut bisa sampai 3 tahun, harga juga terus naik. Selain itu, proses pembuatannya mirip dengan gula batok, hanya perlu proses lanjutan untuk mengeringkan, menggerus, dan mengayak gula.

Hasil pengumpulan nira yang akan diproses menjadi gula semut
Hasil pengumpulan nira yang akan diproses menjadi gula semut (Sahal Wahono-Kemitraan)

Namun, kala itu, tak ada satupun petani dapat membuat gula semut. Maka, SCF pun mendatangkan petani gula semut dari Banten untuk mengajarkan proses produksi gula semut. Jumlah anggota yang memproduksi gula semut terus bertambah, dari yang awalnya hanya empat orang kini ada 12 orang. Bertambahnya jumlah anggota dikarenakan semakin terlihat perbedaan penghasilan dibandingkan ketika mereka masih memproduksi gula batok.

Harga gula batok cenderung tidak banyak kenaikan. Ketika tahun 2014, harga jual Rp 10.000, di tahun 2020 hanya naik sedikit jadi Rp 12.500. Sedangkan harga gula semut terus naik. Tahun 2014 seharga Rp 12.500, 2020 naik menjadi Rp 19.000.

Halaman:
Berita Katadata.co.id di WhatsApp Anda

Dapatkan akses cepat ke berita terkini dan data berharga dari WhatsApp Channel Katadata.co.id

Ikuti kami

Artikel Terkait

Video Pilihan
Loading...
Advertisement