Skema Jual Beli Listrik dari Pembangkit Batu Bara Bisa Rugikan PLN

Anggita Rezki Amelia
11 Agustus 2017, 18:18
PLTU Suralaya
Arief Kamaludin|KATADATA
Saat ini Pembangkit Listrik Suralaya masih yang terbesar di Indonesia dan mensuplai kebutuhan listrik nasional hingga 20 persen.

Lembaga internasional Institute for Energy Economics and Financial Analysis (IEEFA) menghitung adanya potensi kerugian triliunan rupiah yang bisa dialami PT Perusahaan Listrik Negara (Persero) (PLN) dari kontrak jual beli listrik yang berasal dari pembangkit batu bara. Penyebabnya adalah adanya penerapan skema pembayaran kapasitas dalam kontrak jual beli tersebut.

Pakar Pembiayaan Energi IEEFA Yulanda Chung mengatakan skema tersebut memang akan memberikan mendorong investasi karena ada kepastian kepada produsen bahwa listrik yang mereka hasilkan dari pembangkit batu bara terbeli. Namun, skema itu bisa menjadi beban bagi PLN karena tetap membayar listrik dari produsen meskipun tidak termanfaatkan.

(Baca: PLN Kantongi Restu Pemerintah Miliki Tambang Batubara)

Dari hasil kajian IEEFA yang bertajuk “Overpaid and Underutilized: How Capacity Payments to Coal-Fired Power Plants Could Lock Indonesia into a High-Cost Electricity Future”, PLN harus menanggung beban pembayaran US$ 76 miliar akibat adanya klausul tersebut. Padahal listrik tersebut tidak seluruhnya bisa termanfaatkan.

Perhitungan itu berdasarkan jumlah pembangkit listrik PLTU Batu bara dan mulut tambang yang ada di Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) 2017 hingga 2026. Selama sembilan tahun itu rencananya akan terbangun pembangkit tenaga batu bara dengan total kapasitas 24 gigawatt (GW).  

Jadi, jika masa kontrak tersebut berlangsung 25 tahun dan memiliki tingkat pengembalian investasi (Internal Rate of Return/IRR) sebesar 12%, maka PLN harus membayar US$ 3,16 miliar. Sehingga dengan total kapasitas 24 GW, jumlah yang ditanggung mereka adalah US$ 76 miliar. "Hal itu akan terlalu mahal untuk PLN," kata Chung dalam paparan laporannya di Jakarta, Jumat (11/8).

Di sisi lain, konsep pembayaran kapasitas itu dapat mengurangi minat PLN untuk menambah porsi energi terbarukan. Itu bisa terjadi sebagai cara PLN menghindari kerugian dari kewajiban pembayaran kapasitas kepada PLTU yang tidak akan termanfaatkan secara optimal. 

Salah satu contoh potensi kerugian adalah sistem kelistrikan Jawa-Bali. Sistem tersebut membutuhkan marjin cadangan sebesar 25% sesuai dengan perencanaan PLN. Namun, apabila semua rencana penambahan kapasitas berdasarkan RUPTL terlaksana, maka marjin cadangan akan naik menjadi 40% dan bahkan mencapai 55% pada tahun 2019.

Halaman:
Berita Katadata.co.id di WhatsApp Anda

Dapatkan akses cepat ke berita terkini dan data berharga dari WhatsApp Channel Katadata.co.id

Ikuti kami

Artikel Terkait

Video Pilihan
Loading...