Kuasai Aset Migas, Pemerintah Dinilai Tak Konsisten Pakai Gross Split

Anggita Rezki Amelia
23 Januari 2017, 13:34
Rig Minyak
Katadata

Pemerintah dinilai tidak konsisten dalam menerapkan skema baru kontrak bagi hasil minyak dan gas bumi (migas), yaitu skema gross split. Salah satu indikasinya adalah ketentuan mengenai kepemilikan aset hulu migas oleh negara.

Menurut Dewan Penasihat Reforminer Institute Pri Agung Rakhmanto, ketika pemerintah menerapkan skema kontrak bagi hasil gross split, seharusnya aset hulu migas bukan lagi milik negara, tapi menjadi kepunyaan kontraktor. Alasannya, kontraktor migas menanggung seluruh biaya investasi.

(Baca: Pakai Gross Split, Negara Tetap Kuasai Aset Migas Kontraktor)

Hal ini berbeda dengan mekanisme kontrak bagi hasil sebelumnya yang menggunakan skema cost recovery atau penggantian biaya operasional. Dengan konsep itu, aset menjadi milik negara karena investasi memang dikembalikan dari hasil produksi. “Ini tidak logis dan tidak konsisten,” kata Pri kepada Katadata, Minggu (22/1).

Sebagai gambaran, jika mengacu Peraturan Menteri Nomor 8 tahun 2017 tentang kontrak bagi hasil gross split khususnya Pasal 21, seluruh barang dan peralatan yang secara langsung digunakan dalam kegiatan usaha hulu migas yang dibeli kontraktor menjadi milik/kekayaan negara. Pembinaannya dilakukan oleh pemerintah dan dikelola SKK Migas.

Tidak hanya itu, dalam Pasal 22, tanah yang telah diselesaikan proses pembebasannya oleh kontraktor menjadi milik negara dan dikelola SKK Migas, kecuali sewa. Tanah itu juga wajib dimohon sertifikat hak atas tanahnya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Selain itu, Pri menganggap pemerintah tidak konsisten dari sisi birokrasi. Dalam aturan anyar tersebut pemerintah masih wajib mengajukan rencana pengembangan lapangan dan anggaran kepada SKK Migas. 

Halaman:
Berita Katadata.co.id di WhatsApp Anda

Dapatkan akses cepat ke berita terkini dan data berharga dari WhatsApp Channel Katadata.co.id

Ikuti kami

Artikel Terkait

Video Pilihan
Loading...