Insentif Lambat, SKK Migas Ingatkan Produksi Minyak Bisa Setop

Arnold Sirait
17 Februari 2016, 20:13
Pengeboran minyak lepas pantai.
KATADATA
Pengeboran minyak lepas pantai.

KATADATA -  Meski sudah dijanjikan sejak lama, pemerintah belum juga merilis insentif kepada kontraktor minyak dan gas bumi (migas). Padahal, para kontraktor sangat menanti adanya insentif tersebut di tengah tren rendahnya harga minyak dunia. Jika masih berlarut-larut, tak cuma pemutusan hubungan kerja (PHK) yang kian mewabah, produksi migas nasional pun bakal terancam.

Kepala Bagian Humas Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas) Elan Biantoro mengibaratkan kondisi kontraktor migas saat ini seperti orang sakit. Dengan harga minyak dunia yang mondar-mandir di level US$ 30 per barel, beberapa kontraktor harus mendapatkan infus untuk memulihkan kondisinya. “Infusnya itu harus ada kebijakan strategis oleh pemerintah. Jika kebijakan tidak dikeluarkan mereka bisa jadi menghentikan produksi,” kata dia kepada Katadata, Kamis pekan lalu (11/2).

Advertisement

(Baca: Anjloknya Harga Minyak Mengancam Target Lifting)

Kontraktor migas memang masih menunggu kebijakan pemerintah di tengah rendahnya harga minyak. Joint Venture and PGPA Manager Ephindo Energy Private Ltd Moshe Rizal Husin mengatakan, investor sudah mengusulkan agar ada insentif moratorium eksplorasi. Jadi, kontraktor bisa menunda kegiatan eksplorasi tanpa mengurangi jatah waktu eksplorasi yang biasanya diberikan 10 tahun.

Namun, dia menyerahkan keputusan usulan tersebut kepada pemerintah. Yang jelas, harapannya pemerintah segera memutuskan untuk memberikan insentif. “Semoga bisa cepat." 

Sembari menanti terbitnya insentif, menurut Moshe, hal yang tidak kalah penting dilakukan pemerintah saat ini adalah mengurangi disinsentif di sektor migas. Artinya, pemerintah menghapus kebijakan yang dapat menghambat kegiatan migas. Salah satu contohnya perizinan agar lebih sederhana. Selain itu, tumpang tindih lahan dan lambatnya pengambilan keputusan.

Moshe juga mengimbau agar di antara pejabat pemerintah tidak menonjolkan ego sektoral. Dengan begitu, pengadaaan lahan dapat dipermudah dan adanya kepastian peraturan. “Intinya kami butuh iklim investasi yang ramah, yang mendorong pembangunan,” ujar dia.

Menurut dia daya saing bisnis migas Indonesia sangat lemah dibandingkan negara lain. Indikatornya adalah biaya operasi di Indonesia lebih mahal. Kondisi tersebut menjadi sorotan para investor migas. Jika kondisi itu tidak ada perubahan, investor bisa kabur dari Indonesia. Mereka akan memilih negara yang lebih menguntungkan dan mudah dalam menjalankan bisnisnya, meskipun tidak memiliki cadangan yang besar.  

Halaman:
Reporter: Anggita Rezki Amelia
Berita Katadata.co.id di WhatsApp Anda

Dapatkan akses cepat ke berita terkini dan data berharga dari WhatsApp Channel Katadata.co.id

Ikuti kami

Artikel Terkait

Video Pilihan
Loading...
Advertisement