Digitalisasi berpeluang menjadi jalan kebangkitan perekonomian Indonesia setelah terpukul pandemi Covid-19. Hal ini lantaran pola aktivitas masyarakat berubah ke arah digital dan menciptakan peluang ekonomi baru.
Survei Alvara Research Center berjudul 9 Trend Perilaku Konsumen Indonesia Selama Pandemi pada 20 Agustus menyatakan, 69,4% responden berbelanja daring dalam tiga bulan terakhir. Produk terbanyak yang dibeli adalah pakaian (65,2%) dan makan-minuman (40,1%).
Pelaku usaha pun semakin banyak yang memanfaatkan momentum pandemi untuk beralih ke digital. Survei BPS bertajuk Analisis Survei Dampak Covid-19 terhadap Pelaku Usaha menyatakan, 47,75% responden beralih menggunakan media online untuk pemasaran.
Empat dari lima pelaku usaha mengaku pemasaran online berdampak positif pada penjualan produk. Pendapatan pelaku usaha yang sudah memasarkan produknya secara daring dari seblum pandemi, pun 1,14 kali lebih tinggi ketimbang yang baru melakukannya.
Bank Indonesia pun mencatat kenaikan 24,4% (year on year/yoy) nilai transaksi digital menjadi Rp Rp 16 triliun pada Juli 2020, dari periode sama tahun sebelumnya Rp 12,9 triliun. Kenaikan transaksi tertinggi saat sejumlah wilayah memberlakukan pembatasan sosial berskala besar (PSBB) pada April 2020, yaitu naik 64,5% (yoy) menjadi Rp 17,6 triliun.
“Di tengah pandemi, transformasi digital diperlukan dan tidak saja meningkatkan efisiensi dan efektivitas, tetapi juga inklusifitas. Berbagai negara mendorong ini, dengan digitalisasi ekonomi tidak ada yang tertinggal,” kata Menko Perekonomian Airlangga Hartarto, Selasa (30/6), mengutip Viva.co.id.
Indonesia berpeluang besar mendigitalisasi ekonomi. Hasil survei DBS Digital Trasurer 2020 menyatakan bisnis dalam negeri menempati peringkat ke-7 dalam pemanfaatan digitalisasi di antara negara Asia Pasifik. Tercatat 26% perusahaan di negeri ini sudah memiliki strategi jelas masuk ke ranah digital.
Sementara, riset e-conomy SEA 2019 oleh Google, Temasek, dan Bain and Company menunjukkan potensi ekonomi digital negeri ini pada 2019 senilai US$ 40 miliar. Kemudian pada 2025, diproyeksikan meningkat menjadi US$ 133 miliar. Terbesar di Asia Tenggara.
Namun riset tersebut juga menyebut Indonesia masih memiliki hambatan, seperti potensi ekonomi yang masih berpusat di Jabodetabek dan rendahnya literasi finansial masyarakat Indonesia sebagaimana dalam infografik berikut ini:
Hambatan lainnya adalah infrastruktur digital belum merata. Hingga saat ini, baru 70.670 dari total 83.218 desa dan kelurahan di Indonesia yang dapat mengakses layanan internet generasi keempat (4G). Artinya, masih ada 12.548 desa dan kelurahan yang belum terlayani 4G secara penuh. Mayoritas tersebar di daerah 3T, yaitu sebanyak 9.113 desa dan kelurahan.
Selain itu, survei Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII) yang berjudul Penetrasi dan Profil Perilaku Pengguna Internet Indonesia 2018 menunjukkan pengguna internet masih timpang. Lebih dari 50% penduduk di lima provinsi bukan pengguna internet, salah tiganya adalah Aceh, Gorontalo, dan Lampung.
Ketimpangan pengguna internet terlihat pula dari sebaran pelaku usaha yang memasarkan produknya secara daring. Data BPS menyatakan, perusahaan di wilayah kota lebih banyak melakukannya daripada yang berada di kabupaten.
Koneksi internet di Indonesia juga masih rendah. Menurut Speedtest Global Index, rata-rata kecepatan mengunduh 17,03 mbps untuk jaringan seluler dan 22,53 mbps untuk internet kabel yang memanfaatkan jaringan fiber optik (fixed broadband). Di wilayah Asia Tenggara hanya unggul dari Filipina untuk jaringan seluler dan Myanmar untuk fixed broadband.
Hambatan-hambatan itulah yang perlu diperbaiki pemerintah. Mengingat pentingnya penggunaan teknologi digital untuk bangkit dari krisis Covid-19.
Pemerintah telah menyiapkan lima program prioritas pada 2021 untuk percepatan tranformasi digital menuju masyarakat digital Indonesia. Total anggarannya Rp 22,57 triliun. Namun, karena penyesuaian postur anggaran, maka yang disetujui DPR Rp 16,9 triliun.
Editor: Muhammad Ahsan Ridhoi