Industri Otomotif Sulit Mengejar Thailand

KATADATA ? Produksi mobil Indonesia pada tahun lalu mencapai 13,4 persen. Pertumbuhan ini lebih tinggi dari pertumbuhan produksi mobil Thailand yang hanya 4,3 persen. Namun, dari segi volume, Indonesia jauh tertinggal dari Thailand.
Data Organisasi Produsen Kendaraan Dunia (Organisation Internationale des Constructeurs d?Automobiles/OICA) mencatat pada tahun lalu produksi mobil di Thailand mencapai 2,53 juta unit, dan menduduki posisi 9 produsen kendaraan terbanyak di seluruh dunia. Sementara Indonesia berada pada posisi 15 dengan jumlah produksi yang hanya separuh dari Thailand, yakni sebanyak 1,2 juta unit.
Sepertinya akan sulit bagi Indonesia untuk dapat mengejar kemampuan produksi Thailand. Kementerian Perindustrian pun memprediksi, kapasitas produksi industri otomotif Indonesia baru mencapai dua juta unit pada 2019. Itu pun masih lebih rendah dari kapasitas produksi Thailand yang mencapai lebih dari 2,6 juta unit.
Dengan produksi yang tinggi, Thailand mampu mengekspor sekitar 1,3 juta unit mobil tahun lalu, atau lebih dari 50 persen produksinya. Sementara hanya 14,15 persen saja produksi mobil Indonesia yang diekspor.
Dengan kondisi seperti ini, banyak kekhawatiran industri otomotif Indonesia akan kalah, dan tidak bisa bersaing dengan Thailand dalam pasar bebas ASEAN tahun depan. Padahal pasar Indonesia merupakan yang paling besar di ASEAN.
Sekretaris Umum Gabungan Industri Kendaraan Bermotor Indonesia (Gaikindo) Noergajito mengatakan lemahnya infrastruktur menjadi penyebab kalahnya industri otomotif Indonesia, dibandingkan Thailand. Padahal infrastruktur menjadi salah satu alasan investor menanamkan modalnya ke Indonesia.
"Tantangan di luar perusahaan adalah lemahnya infrastruktur seperti listrik, akses ke pelabuhan. Thailand infrastrukturnya jauh lebih baik. Car port (pelabuhan untuk ekspor kendaraan) ada dua," ujar Noergajito, di Kantor Kementerian Perindustrian, Jakarta, Senin (23/6).
Thailand hanya membutuhkan waktu 20 menit untuk mengirimkan barang dari pabrik ke pelabuhan. Sedangkan Indonesia membutuhkan waktu dua jam. Belum lagi proses pengiriman barang di pelabuhan yang memakan waktu lebih lama ketimbang Thailand.
Kendala lainnya adalah harga bahan baku dan komponen pembuat mobil dalam negeri yang lebih mahal dari impor. Bahkan, jumlah industri komponen di Indonesia, meski telah mencapai 1.500 perusahaan, ternyata masih jauh dari jumlah industri komponen di Thailand yang memiliki sekitar 2.200 perusahaan.
"Kebijakan pemerintah Thailand juga lebih mendukung," ujarnya.
Makanya, agar bisa bersaing pada Masyarakat Ekonomi ASEAN (ASEAN Economic Community) tahun depan, Gaikindo mendorong beberapa hal kepada pemerintah. Gaikindo menyarankan agar pemerintah harus membuat iklim usaha yang lebih baik, penguatan sumber daya manusia (SDM), dan memberikan fasilitas penelitian serta pengembangan.
"Harus ada fasilitasi bahan baku dan menerbitkan aturan teknis internasional yang diberlakukan di tingkat ASEAN," tutupnya.
Menjawab hal tersebut, Direktur Jenderal Industri Unggulan Berbasis Teknologi Tinggi Kementerian Perindustrian Budi Darmadi mengatakan pemerintah mengaku akan memberikan beberapa insentif untuk mendorong industri otomotif, yaitu tax holiday dan insentif untuk riset dan pengembangan (Research and Development/R&D).
"Deepening (pendalaman) bahan baku kami dorong habis-habisan, kayak CRV (produk Honda) kami beri tax holiday. Ada insentif R&D, tapi karena kerja otak sulit dihitung, masih kita bicarakan untuk detailnya," ujar Budi.
Untuk mendorong industri komponen yang merupakan bahan baku kendaraan, pemerintah berharap bisa ditangani oleh industri menengah lokal. "Mungkin ada seribuan yang bisa dihandle oleh industri menengah lokal. Kalau itu diberi kesempatan termasuk perbankan, agar bisa maju," ujarnya.