Investasi Migas Indonesia Tak Lagi Menarik

Image title
Oleh
11 Mei 2015, 16:05
No image
KATADATA | Donang Wahyu
Craig Stewart, Presiden IPA

KATADATA ?  Industri minyak dan gas Indonesia menghadapi tantangan berat. Produksi minyak terus menurun, cadangan terbukti kian merosot hingga di bawah 4 miliar barel dan kondisi sumur yang semakin menua. Ironisnya, di tengah situasi itu, kontraktor migas justru enggan berinvestasi untuk eksplorasi. Padahal, tanpa eksplorasi, tidak akan pernah ditemukan cadangan migas baru.

Sejatinya, menurut Presiden Asosiasi Perusahaan Migas Indonesia atau Indonesia Petroleum Association (IPA) Craig Stewart, potensi migas Indonesia masih sangat besar. Sayangnya, Indonesia menghadapi berbagai masalah yang menghambat minat perusahaan migas berinvestasi di Indonesia.

Advertisement

Guna mengetahui potensi dan hambatan yang dirasakan oleh pelaku industri migas, sekaligus solusi yang harus diambil oleh pemerintah, Tim Katadata mewawancarai Craig Stewart di Jakarta pada April 2015. Berikut petikannya.

Apakah Indonesia masih tetap menarik bagi investor di sektor minyak dan gas?

Potensi Indonesia masih besar. Semakin besar wilayah sebuah negara maka semakin besar potensi sumber dayanya. Negara seperti Amerika, Cina, Kanada dan Rusia memiliki daerah luas dan sumber daya alam besar. Indonesia juga demikian. Dibandingkan dengan negara Asia Tenggara, seperti Malaysia dan Thailand, potensi Indonesia jauh lebih bagus. Apalagi jika kita melihat sejarah kesuksesan industri migas, Indonesia adalah penghasil migas terbesar di Asia Tenggara. Indonesia, terutama di wilayah Timur, sampai saat masih sedikit dieksplorasi. Padahal  secara geologis, potensinya sangat besar.

Lalu mengapa saat dilakukan lelang blok migas sepi peminat?

Ada sejumlah faktor yang mempengaruhi hal tersebut. Pertama, eksplorasi di wilayah Timur Indonesia, kebanyakan di laut dalam. Biayanya sangat mahal. Skema production sharing contract (PSC) yang ada saat ini tidak menarik bagi kontraktor. Ketentuan PSC Indonesia saat ini terlalu keras, dan merupakan salah satu yang yang terberat di dunia, jika dibandingkan dengan prospek wilayah kerja yang ada. Apalagi ini diperparah dengan turunnya harga minyak dunia

Penurunan harga minyak juga berpengaruh terhadap minat eksplorasi. Ini karena dengan pendapatan menurun dan uang yang tersedia untuk investasi juga menurun, eksplorasi menjadi salah satu item budget pertama yang dihapus. Dalam situasi ini, perusahaan minyak akan lebih fokus melakukan investasi pengembangan blok migas yang sedang mereka kerjakan untuk meningkatkan pendapatan jangka pendek. 

Faktor lainnya yang sangat mempengaruhi minat investasi migas di Indonesia adalah masalah kepastian hukum. Misalnya, pengenaan Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) pada masa eksplorasi. Sejak terbit Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 79/2010 tentang Biaya Operasi yang Dapat Dikembalikan dan Perlakuan Pajak Penghasilan Migas, wilayah eksplorasi mulai dikenai pajak pada kurun waktu 2012-2013. Ini untuk pertama kalinya dialami oleh industri migas. Padahal kerugian pada saat eksplorasi menjadi risiko perusahaan migas.

Tentu saja kebijakan ini mengejutkan bagi pelaku industri migas. Jumlahnya luar biasa besar. Total yang harus dibayarkan adalah US$ 220 juta (Rp 2,9 triliun) untuk 17 kontraktor migas. Masalah PBB ini menimbulkan ketidakpastian hukum dalam industri migas.Pemerintah memang menyadari pengenaan pajak eksplorasi tidak tepat dan tak lagi diberlakukan. Tapi pembatalan itu tidak berlaku surut sehingga pajak tetap dikenakan bagi perusahaan-perusahaan tersebut. Kasusnya sampai saat ini masih berjalan di pengadilan pajak. Kontraktor migas yang menghadapi masalah ini diharuskan tetap membayar 50 persen dari pajak yang ditagihkan supaya bisa mengajukan keberatan di pengadilan.   

Karena kasus ini, banyak perusahaan kemudian yang membatalkan penandatangan PSC. Lelang  blok migas pada 2013 gagal terlaksana karena para peserta mundur di proses penawaran. Munculnya peraturan pengenaan pajak eksplorasi ini menimbulkan ketidakpastian di industri migas, sehingga sampai saat ini minat untuk melakukan eksplorasi di Indonesia belum kembali pulih. 

Perlu juga dicatat, pengenaan pajak ini akan berdampak pada pengurangan bagi hasil keuntungan kontraktor migas. Ini tentu saja membuat PSC menjadi semakin tidak menarik. Padahal situasi situasi saat ini mengharuskan PSC bisa lebih mendatangkan minat kontraktor untuk melakukan eksplorasi menemukan cadangan migas baru.   

Pada 2014, memang ada beberapa PSC baru yang ditandatangani. Tapi, dengan segala permasalahan yang ada, komitmen program kerja yang diberikan kontraktur pun berkurang.

Apa masalah lainnya?

Waktu komersialisasi semakin panjang. Di era booming minyak di Indonesia, waktu yang dibutuhkan dari masa penemuan migas ke komersialisasi 2 sampai 5 tahun.  Saat ini waktunya mencapai 10 sampai15 tahun. 

Semakin panjangnya masa pengembangan ini berdampak pada beberapa blok migas besar di Indonesia saat ini yang sedang dikembangkan atau menunggu untuk dikembangkan. Beberapa contoh temuan besar itu seperti proyek Chevron IDD (Indonesia Deepwater Development) yang ditemukan pada awal 2000 saat ini pengembangannya menunggu proses perpanjangan PSC. Begitu juga Lapangan Abadi dengan kontraktor Inpex yang ditemukan pada 2000. Sedangkan lapangan Banyu Urip dengan kontraktor Exxon yang ditemukan 2001, baru  berproduksi tahun ini.   

Dengan rendahnya harga minyak dan biaya eksplorasi yang besar di wilayah Indonesia Timur, kontrak dengan durasi 30 tahun tidaklah cukup bagi perusahaan. 

Sebaiknya berapa lama kurun waktu PSC?

Dengan kondisi bisnis saat ini, maka durasi kontrak yang ideal adalah 50 tahun. Atau tetap 30 tahun dengan otomatis perpanjangan 20 tahun. Tanpa adanya perubahan ini, investasi eksplorasi di Indonesia akan tetap menjadi tidak menarik. 

Halaman:
Reporter: Redaksi
Editor: Arsip
Berita Katadata.co.id di WhatsApp Anda

Dapatkan akses cepat ke berita terkini dan data berharga dari WhatsApp Channel Katadata.co.id

Ikuti kami

Artikel Terkait

Video Pilihan
Loading...
Advertisement