Politisasi Century dan Kerugian Negara

No image
Oleh
17 Mei 2013, 00:00
No image
Donang Wahyu | KATADATA

Sudah empat tahun berlalu, bara Century belum juga padam. Sejak bank bobrok ini diselamatkan oleh pemerintah pada November 2008, sumbu politik kasus ini bahkan kerap mudah tersulut. 

Hiruk-pikuk kembali terjadi ketika beberapa anggota tim pengawas Century DPR mewartakan ?kabar penting? selepas menyambangi Anas Urbaningrum di kediamannya. Menurut para politisi Senayan, mantan Ketua Umum Partai Demokrat itu menyebut sejumlah nama yang terkait aliran dana bailout Century Rp 6,76 triliun. 

Tapi, percikan api politik itu tiba-tiba kembali padam. Dalam sebuah acara talkshow radio, Anas menyatakan tidak pernah menyebut nama-nama terkait aliran dana Century. Bahkan, kata dia, para koleganya di tim pengawas menyatakan bahwa media massalah yang memelintir pernyataan mereka.

Drama ini sekali lagi menunjukkan bahwa kasus Century selalu punya tempat istimewa di panggung politik Indonesia. Para badut politik bahkan bisa mendapat panggung megah menjelang ajang Pemilu 2014.

Banyak yang tak sadar bahwa politisasi kasus Century sesungguhnya dapat berdampak pada semakin besarnya tingkat kerugian negara. Ini dikarenakan, upaya penjualan Bank Century, yang kini bernama Bank Mutiara, menjadi semakin sulit direalisasikan dengan harga optimal. 

Kegaduhan yang terus-menerus kerap membuat investor tak punya nyali untuk membeli bank eks Century ini. Padahal, kinerja keuangannya tak buruk. Modalnya yang saat diselamatkan pada 21 November 2008 minus Rp 2,2 triliun, kini sudah mencapai sekitar Rp 1,4 triliun. Rasio kecukupan modalnya pun naik drastis dari minus 36 persen menjadi di atas 11 persen.

Perlu juga disadari oleh semua pihak bahwa penjualan Bank Mutiara bukanlah perkara mudah. Ketentuan dalam Undang-Undang Lembaga Penjamin Simpanan mengharuskan bank ini dijual minimal seharga nilai bailout Rp 6,8 triliun atau setara dengan 4,8 kali modalnya. 

Harga ini jelas terlalu mahal jika dibandingkan dengan bank-bank lainnya. Sebagai gambaran, price to book value atau perbandingan harga terhadap nilai buku bank-bank besar, seperti BNI, BRI, Mandiri, Danamon dan CIMB Niaga saja hanya berkisar 1-3 kali. Bank-bank di Eropa dan Asia lainnya bahkan hanya 1-1,5 kali dari nilai buku.

Ketentuan harga jual minimum sebesar penyertaan modal yang ditanamkan LPS ini mengikat selama tiga tahun sejak bank diambil alih. Tenggat ini bisa diperpanjang dua tahun, meski harus tetap dijual dengan patokan harga yang sama. Barulah jika tetap gagal, penjualan di tahun keenam bisa dilakukan di bawah nilai bailout.

Mengacu pada ketentuan itu, Bank Mutiara baru bisa dijual dengan harga realistisnya di bawah Rp 6,8 triliun pada November 2013 hingga November 2014. Padahal, di masa itu suhu politik akan mencapai titik didihnya menjelang Pemilu. Sangat mungkin para politisi akan kembali berteriak jika Bank Mutiara dijual di bawah nilai bailout, meski UU memungkinkannya.

Jika ini terjadi, upaya penjualan bisa kembali gagal dan nasib  Bank Mutiara bakal semakin tidak menentu. Sebab, belum ada aturan yang jelas, siapa yang harus menangani bank itu setelah wewenang LPS habis di tahun keenam.

Untuk memecah kebuntuan itu, perlu segera dibuat opsi terobosan. Pertama, agar Bank Mutiara bisa terjual tahun ini, perlu ada insentif bagi calon investor untuk bisa membelinya secara bertahap dalam periode tertentu. Dengan cara ini, meski nilai jual relatif mahal 4,8 kali nilai buku, investor masih bisa memetik keuntungan dari keringanan skema pembayaran. Investor yang menawarkan skema paling menguntungkanlah yang keluar sebagai pemenang.

Kedua, perlu dikaji kemungkinan bank-bank BUMN bisa membeli Bank Mutiara dengan obligasi rekap. Opsi ini ideal dilakukan agar Bank Mutiara yang telah menguras energi publik dan dana tak sedikit ini, bisa memperkuat perbankan nasional, khususnya menghadapi persaingan ketat di era perdagangan bebas Asean yang akan dimulai pada 2015. 

Bank-bank besar nasional, seperti BCA, memang tidak terpaut jauh dibanding bank DBS di Singapura yang memiliki kapitalisasi pasar tertinggi. Namun, berdasarkan modalnya, Mandiri sebagai bank dengan modal terbesar di Indonesia, hanya menempati urutan ke-7 di bawah bank-bank di Singapura, Malaysia dan Thailand.

Perlu juga dipahami bahwa penjualan Bank Mutiara adalah upaya mengurangi beban ongkos penyelamatan ekonomi. Bukan transaksi untuk mencari keuntungan sebesar-besarnya. Karena itu, kalaupun pada akhirnya Bank Mutiara hanya bisa dijual di bawah Rp 6,8 triliun, kita semua harus realistis menerimanya.

Taruhlah Mutiara hanya berhasil dijual sebesar dua kali nilai bukunya saat ini atau Rp 2,8 triliun. Ini berarti ongkos riil penyelamatan Century sudah berkurang menjadi tinggal Rp 4 triliun. Angka ini sesungguhnya sudah lebih rendah dari ongkos riil yang harus dikeluarkan negara jika Century ditutup empat tahun lalu yang mencapai Rp 5,8 triliun.

Ongkos penutupan ini berasal dari pengeluaran dana oleh LPS untuk penggantian dana nasabah yang dijamin pemerintah sebesar Rp 6,4 triliun, dikurangi potensi pendapatan dari hasil penjualan aset-aset Bank Century setelah ditutup yang ditaksir sekitar Rp 600 miliar.

Perbandingan inilah yang selama ini luput dari perhatian publik, termasuk media. Keributan hanya seputar ongkos bailout Rp 6,8 triliun, tanpa mengetahui kalkulasi riilnya. Tanpa politisasi, niscaya Bank Mutiara bisa dijual lebih tinggi, yang berarti kerugian negara pun semakin kecil.

Terbit di Koran Tempo, 20 Maret 2013
http://www.tempo.co/read/kolom/2013/03/20/661/Politisasi-Century-dan-Kerugian-Negara

Advertisement
No image
Reporter: Redaksi
Editor: Arsip

Catatan Redaksi:
Katadata.co.id menerima tulisan opini dari akademisi, pekerja profesional, pengamat, ahli/pakar, tokoh masyarakat, dan pekerja pemerintah. Kriteria tulisan adalah maksimum 1.000 kata dan tidak sedang dikirim atau sudah tayang di media lain. Kirim tulisan ke [email protected] disertai dengan CV ringkas dan foto diri.

Berita Katadata.co.id di WhatsApp Anda

Dapatkan akses cepat ke berita terkini dan data berharga dari WhatsApp Channel Katadata.co.id

Ikuti kami

Artikel Terkait

Video Pilihan
Loading...
Advertisement