Risiko Investasi Migas Perlu Diturunkan

Image title
Oleh
17 Juni 2013, 00:00
No image
Donang Wahyu | KATADATA
Faisal Basri, Ekonom Universitas Indonesia

KATADATA ? Dibandingkan dengan negara lain, Indonesia sebenarnya termasuk dalam jajaran segelintir negara yang memiliki sumber daya minyak dan gas bumi. Artinya, Indonesia memiliki daya tarik bagi investor di industri migas. Ironisnya, negara ini justru menghadapi persoalan serius dalam memacu investasi di sektor migas. Investasi dan kegiatan untuk eksplorasi justru terhambat. Padahal, cadangan dan produksi migas negara ini semakin merosot dari tahun ke tahun.

Untuk mengatasi persoalan tersebut, ekonom Universitas Indonesia, Faisal Basri menekankan pada pentingnya membuat insentif yang bisa menurunkan risiko. Sebab, bisnis hulu migas merupakan bisnis padat modal, teknologi dan berisiko tinggi. ?Jadi, semakin tinggi risiko yang dihadapi, mereka semakin enggan,? ujar peraih Master of Arts (M.A.) dalam bidang ekonomi, Vanderbilt University, Amerika. Berikut petikan wawancara dengan ekonom yang menaruh perhatian tinggi dalam soal perminyakan ini.

Advertisement

Bagaimana penilaian Anda terhadap investasi migas saat ini?
Faktanya cadangan terbukti minyak kita menurun terus. Yang masih dikeruk adalah sumur-sumur dengan cadangan tersisa belasan persen sehingga produksi juga menurun. Ini berarti tidak ada investasi untuk eksplorasi. Pemerintah tidak melakukan apa-apa selama 10 tahun terakhir. Tahun lalu dari 10 eksplorasi tidak ada satupun yang berhasil. Padahal, apa yang kita lakukan sekarang baru menghasilkan 5-10 tahun mendatang.

Apa penyebab investasi untuk eksplorasi menurun?
Eksplorasi itu mahal, biayanya bisa US$200 juta per sumur. Ironisnya, eksplorasi belum menghasilkan apa-apa sudah dikenakan pajak. Akibatnya, iklim investasi tidak kondusif. Masalah lainnya adalah perbedaan persepsi soal cost recovery. Semakin tua usia sumur yang dieksploitasi, kandungan minyaknya semakin sedikit, pengeboran juga semakin dalam. Akibatnya, ongkos semakin besar dan cost recovery naik. Lantas, ada pertanyaan, cost recovery naik, tetapi produksi kok menurun? Mereka yang bilang seperti itu, artinya tidak mengerti minyak. Akibatnya, timbul kriminalisasi, perusahaan minyak dipanggil DPR. Belum lagi, masalah-masalah lain, seperti perizinan, pertanahan dan lainnya. Jadi, ini tidak ada kaitannya dengan rezim kontrak bagi hasil yang berlaku.

Apa saja yang harus dilakukan pemerintah untuk memperbaiki iklim investasi migas?
Intinya kan industri ini memerlukan teknologi tinggi, modal tinggi, dan risiko tinggi. Jadi buatlah insentif untuk menurunkan risiko. Semakin tinggi risikonya, investor semakin enggan. Mereka akan masuk ke negara-negara berisiko kecil. Saat akan masuk suatu negara, mereka melakukan riset dengan skenario. Saya pernah diundang BP, disuruh mikir Indonesia 50 tahun ke depan akan seperti apa karena investasi mereka miliaran dolar. Itu saja: how to reduce risk. Kemudian soal kepastian, seperti pelaksanaan rezim kontrak migas secara konsisten. Karena bisnis mereka merupakan bisnis jangka panjang. Kalau berubah-ubah terus, mereka tidak bisa menghitung. Kemudian soal transparansi juga perlu menjadi perhatian pemerintah.

Kalau mengatasi beda persepsi soal cost recovery, bagaimana solusinya?
Kalau saya cenderung meniadakan cost recovery. Cost recovery itu membuat rumit, harus ada auditor, tetek bengek segala macam. Sudah bagi hasilnya diatur saja, pemerintah mau berapa persen, apakah 70 persen, 65 persen. Mau efisien atau tidak efisien, tidak perlu repot, tidak membuat ruang buat korupsi, tidak ada ruang untuk dispute. Cost recovery menciptakan ruang yang tidak perlu, misalnya baby sitter masuk cost recovery sehingga terjebak mengurusi yang kecil-kecil. Jadi produksinya aja yang di push, pemerintah minta jatah berapa? Apakah kebijakan insentif pembebasan pajak pertambahan nilai dan bea masuk untuk barang eksplorasi migas sudah cukup menarik bagi investor? Mungkin akan menambah daya tarik. Ingat, dibandingkan dengan negara lain, daya tarik investasi Indonesia itu relatif kurang. Negara lain lebih agresif dalam menarik investor. Di sini, investor harus mikir-mikir dulu karena jika gagal menemukan minyak, maka ongkos harus ditanggung sendiri. Padahal,  informasi tentang cekungan dan sebagainya, harus mereka cari sendiri karena pemerintah Indonesia tidak mempunyai sumber data yang baik tentang potensi cadangan sumber daya energi. Artinya, investor harus menanggung seluruhnya jika gagal.

Bagaimana cara memperkecil risiko investor dalam mencari minyak di Indonesia?
Dalam UU Migas yang akan direvisi, saya mendengar pemerintah akan ikut mengurangi risiko investasi. Caranya, pemerintah akan mengeluarkan uang untuk penelitian, seismik guna melengkapi data potensi cadangan sumber daya migas Indonesia. Bila pemerintah lebih tahu isi perut bumi Indonesia, maka daya tawar pemerintah terhadap investor juga akan lebih besar. Dana untuk penelitian tersebut akan diambil dari dana minyak yang dihasilkan.

Dibandingkan dengan investasi di sektor lainnya, apakah perlu strategi khusus untuk menarik investasi migas?
Tidak ada yang istimewa, minyak sama saja dengan yang lain. Bedanya, di sektor lain itu, seperti industri tekstil, semua negara mempunyai industri tersebut. Tetapi di industri migas berbeda. Tidak semua negara memiliki minyak. Kita memiliki minyak dan bersaing dengan relatif sedikit negara. Orang mau datang ke sini karena ada minyak. Jadi, sebenarnya kita memiliki bargaining position yang lebih baik. Persolannya, industri migas ini tergolong padat teknologi dan modal sehingga tidak bisa sembarangan investor mau menanamkan modal. Saat ini merebak sentimen negatif mengenai perusahaan multinasional. Bahkan, ada yang bilang Indonesia sudah mampu tanpa peran asing.. Bohong itu. Apa kita mau meniru Venezuela? Meski cadangannya sangat besar, namun produksi minyak Venezuela justru terus menurun karena mereka menendang keluar investor asing. Padahal, peranan investor asing sangat vital di sana karena Venezuela tidak memiliki teknologi tinggi di industri migas. Menurut saya, lebih baik sejak awal National Oil Company (NOC) disuruh belajar ke International Oil Company (IOC). Kalau jangka waktu sepuluh tahun sudah cukup, ya sepuluh tahun. Tetapi bukan dengan cara diberi secara otomatis, lewat petisi, mengerahkan demo dan lainnya.

Menurut Anda, bagaimana semestinya pengelolaan sumber energi nasional?
Kita perlu membenahi manajemen kebijakan energi secara keseluruhan mengacu pada prinsip-prinsip dasar. Migas adalah yang sumber energi yang tidak terbarukan (non renewable) sehingga perlakuannya berbeda dengan yang terbarukan (renewable). Yang berhak menikmati bukan generasi sekarang saja. Jadi tidak boleh, minyak dieksploitasi, dijual lalu kita nikmati sendiri. Itu ada hak generasi mendatang. Artinya, dalam mengelola aset negara, eksploitasi minyak sudah sepatutnya setara dengan eksplorasi. Jangan kita tidak mencari sumur baru, namun terus mengeksploitasi sumur yang ada. Itu namanya pemerkosaan. Bekerja dulu, baru menikmati hasilnya, jangan malas. Jika eksploitasi lebih kecil dari eksplorasi, maka harus dikompensasi dengan energi alternatif atau terbarukan. Prinsip dasar lainnya adalah asas keberlanjutan, kemandirian, dan kedaulatan energi. 

Reporter: Redaksi
Editor: Arsip
Berita Katadata.co.id di WhatsApp Anda

Dapatkan akses cepat ke berita terkini dan data berharga dari WhatsApp Channel Katadata.co.id

Ikuti kami

Artikel Terkait

Video Pilihan
Loading...
Advertisement