Pandu Riono Minta Terawan Selesaikan Polemik Pemecatan dengan IDI

Aryo Widhy Wicaksono
30 Maret 2022, 13:28
Menteri Kesehatan Terawan Agus Putranto mengikuti Rapat Kerja (Raker) dengan Komisi IX DPR di Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta, Kamis (10/12/2020). Rapat tersebut membahas persiapan vaksinasi COVID-19 dan sumber pembiayaannya serta regulasi pendukung pr
ANTARA FOTO/Muhammad Adimaja/foc.
Menteri Kesehatan Terawan Agus Putranto mengikuti Rapat Kerja (Raker) dengan Komisi IX DPR di Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta, Kamis (10/12/2020). Rapat tersebut membahas persiapan vaksinasi COVID-19 dan sumber pembiayaannya serta regulasi pendukung program vaksinasi nasional.

Rekomendasi pemecatan terhadap mantan Menteri Kesehatan Terawan Agus Putranto dari keanggotaan Ikatan Dokter Indonesia (IDI), berbuntut panjang. Ramai-ramai publik memberikan dukungan kepada Terawan, dan mengecam keputusan ini.

Komisi IX Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) pun bergerak cepat dengan mengundang IDI untuk rapat bersama pada Selasa (29/3), guna membahas rekomendasi Majelis Kode Etik Kedokteran (MKEK) IDI. Namun IDI berhalangan hadir karena masih menyelesaikan berkas Muktamar ke-31 IDI yang digelar di Banda Aceh.

Advertisement

Pada Muktamar tersebut, MKEK IDI memberikan rekomendasi agar Pengurus Besar IDI memecat Terawan secara permanen dari keanggotaan IDI karena telah melakukan pelanggaran etik berat. Adapun pemecatan akan berlaku efektif selambat-lambatnya 28 hari kerja setelah keputusan dibuat.

Epidemiolog dari Universitas Indonesia, Pandu Riono, yang juga merupakan anggota IDI, melihat persoalan ini semakin melebar karena dikomentari berbagai pihak. Tetapi justru Terawan yang menjadi subyek, terlihat seolah-olah tidak memiliki itikad untuk menyelesaikan permasalahan.

"Semua tergantung Terawan," kata Pandu saat dihubungi Katadata, Rabu (30/3)

Pandu pun meminta agar Terawan tak meminta dukungan dari berbagai pihak, dan memulai komunikasi secara personal kepada PBIDI.

Menurut Pandu, rekomendasi MKEK ini merupakan buntut dari laporan yang diterima sejak 2013. Hal ini menyangkut terapi terhadap pasien stroke iskemik kronik, menggunakan metode digital subtraction angiopgraphy (DSA) atau terapi cuci otak.

Teknik cuci otak ala Terawan dinilai tidak dilakukan berdasarkan penelitian ilmiah. Prosedur ini dilakukan dengan memasukkan kateter ke dalam pembuluh darah melalui pangkal paha untuk memeriksa penyumbatan pembuluh darah di area otak. Jika menemukan sumbatan pada pembuluh darah, Terawan akan menyemprotkan obat heparin untuk menghancurkan plak atau lemak tersebut.

MKEK menggelar audiensi dengan Terawan pada 30 Agustus 2013. Dalam audiensi ini, Terawan berjanji akan menuliskan dasar-dasar bukti ilmiah tindakan medis ini di sebuah media.

Akan tetapi, janji itu tak kunjung terpenuhi. Hingga 2018, Terawan mendapatkan sanksi pemberhentian sementara selama satu tahun. IDI juga memberikan kesempatan kepada Terawan untuk memberikan klarifikasi serta menunjukan Evidence-based Medicine (EBM) terhadap terapi yang dilakukan.

Setelah rekomendasi pemberhentian sementara keluar, terjadi mediasi dengan berbagai pihak, "Kemenkes (Kementerian Kesehatan), TNI ikut membantu," ungkap Pandu.

Pascamediasi, tetap saja Terawan tak juga mempublikasikan dasar-dasar bukti ilmiah terhadap tindakan medis ini. "Terawan merasa sudah selesai, padahal belum dan harus diselesaikan," jelas Pandu.

Pada saat Terawan dipercaya Presiden Joko Widodo menjadi Menteri Kesehatan, IDI pun melayangkan surat untuk memberi tahu mengenai status Terawan yang sedang menjalani proses etik di MKEK IDI.

Menurut Pandu, masalah pelanggaran terhadap Kode Etik dokter penting untuk ditindak karena dalam menjalankan profesi, dokter bertujuan melindungi keselamatan publik.

Halaman:
Reporter: Aryo Widhy Wicaksono
Berita Katadata.co.id di WhatsApp Anda

Dapatkan akses cepat ke berita terkini dan data berharga dari WhatsApp Channel Katadata.co.id

Ikuti kami

Artikel Terkait

Video Pilihan
Loading...
Advertisement