Pakar Ungkit Fenomena Tongkat Perkins Terkait Polemik Terawan

Aryo Widhy Wicaksono
8 April 2022, 14:52
Mantan Menteri Kesehatan Terawan Agus Putranto saat mengikuti Rapat Kerja (Raker) dengan Komisi IX, Kamis (10/12/2020).
ANTARA FOTO/Muhammad Adimaja/foc.
Mantan Menteri Kesehatan Terawan Agus Putranto saat mengikuti Rapat Kerja (Raker) dengan Komisi IX, Kamis (10/12/2020).

Sudah dua pekan berlalu sejak Majelis Kehormatan Etik Kedokteran (MKEK) mengeluarkan rekomendasi pemecatan permanen, kepada mantan Menteri Kesehatan dr. Terawan Agus Putranto dari keanggotaan Ikatan Dokter Indonesia (IDI).

MKEK mengeluarkan rekomendasi karena menilai Terawan telah melakukan pelanggaran etik berat, dengan menerapkan terapi "cuci otak" terhadap stroke iskemik kronik melalui metode diagnostik Digital Substraction Angiography (DSA). Sebab, terapi ini belum memiliki kajian ilmiah.

Hingga kini, pro-kontra mengenai rekomendasi tersebut masih bergulir di tengah masyarakat. Sebagian menyatakan rekomendasi itu patut dikeluarkan, sebagian yang lain menyebut keputusan MKEK berlebihan seraya memberikan testimoni mengenai keampuhan terapi "cuci otak" Terawan.

Di tengah polemik ini, Dokter spesialis jantung dan pengamat masalah kesehatan dari Universitas Indonesia dr. Bambang Budiono, memberikan pandangan mengenai pentingnya kajian ilmiah terhadap suatu terapi di dunia kedokteran.  

"Dalam menguji keampuhan suatu metoda pengobatan ada beberapa cara atau metodologi yang lazim dilakukan dan telah diterima secara luas di dunia medis," jelas Bambang dalam keterangan resmi yang diterima katadata.co.id, Jumat (8/4).

Pertama menggunakan hasil antara atau “surrogate end point”, dengan melihat beberapa perubahan penanda khusus dari hasil laboratorium, atau pencitraan khusus seperti kardiologi nuklir, ekokardiografi, dan beragam pencitraan khusus lainnya, untuk melihat dampak suatu pengobatan.

Cara lainnya adalah menggunakan data klinis pasien sebagai hasil akhir. Seperti terjadinya peningkatan kemampuan fisik, atau penurunan frekuensi perawatan di rumah sakit.

Kemudian untuk menilai keunggulan suatu metoda pengobatan, dapat dilakukan dengan membandingkan obat atau metode baru dengan terapi yang standar diterapkan, jika sudah ada sebelumnya. Jika tidak, membandingkannya dengan suatu bahan tidak aktif yang disebut plasebo.

Perlu diketahui, meski plasebo bukan zat aktif, tetapi dapat memiliki dampak seperti zat aktif, baik secara khasiat maupun efek sampingnya.

Hal ini terkadang membuat pasien yang memperoleh kapsul berisi tepung, dapat mengalami penurunan kadar gula darah, tensi, atau kadar cholesterol. Bahkan, berkurangnya keluhan klinis. Mereka juga dapat mengeluhkan efek samping mirip obat aktif, seperti batuk, diare, demam, pusing, dan sebagainya.

"Penelitian dengan desain yang baik akan menjawab apakah obat atau metoda yang diberikan pada pasien benar-benar memiliki manfaat klinis atau tidak. Semakin banyak yang terlibat penelitian, semakin kuat kesimpulan yang bisa diambil apakah memang bermanfaat atau tak lebih baik dari plasebo," jelas Bambang.

Terkait efek samping terhadap plasebo ini, Bambang menyinggung peristiwa di masa lampau, yaitu fenomena Tongkat Perkins.

Elisha Perkins pada akhir abad ke-18 membuat sebuah tongkat dari dua batang logam 3 inci dengan ujung runcing. Meski bahannya merupakan campuran baja dan kuningan, Perkins mengklaim tongkat ciptaannya terbuat dari paduan logam yang tidak biasa, sehingga dapat menyembuhkan berbagai peradangan, rematik, hingga nyeri pada kepala dan wajah.

"Dia menerapkan titik-titik pada bagian tubuh yang sakit dan menggunakan tongkatnya untuk melakukan penyembuhan selama sekitar 20 menit," lanjut Bambang.

Halaman:
Reporter: Aryo Widhy Wicaksono
Berita Katadata.co.id di WhatsApp Anda

Dapatkan akses cepat ke berita terkini dan data berharga dari WhatsApp Channel Katadata.co.id

Ikuti kami

Artikel Terkait

Video Pilihan
Loading...