Pakar: Omnibus Law di UU PPP Akomodasi Kepentingan Sesaat Pemerintah

Aryo Widhy Wicaksono
22 Juni 2022, 12:52
Sejumlah buruh perempuan melakukan aksi unjuk rasa di depan gedung DPR, Jakarta, Rabu (15/6/2022).
ANTARA FOTO/Muhammad Adimaja/aww.
Sejumlah buruh perempuan melakukan aksi unjuk rasa di depan gedung DPR, Jakarta, Rabu (15/6/2022).

Presiden Joko Widodo baru saja menandatangani naskah revisi Undang-Undang tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan (UU PPP), sehingga resmi berlaku menjadi payung hukum dan mendapatkan Nomor 13 Tahun 2022.

Undang-undang baru ini memberikan wewenang kepada Sekretariat Negara untuk mengubah naskah undang-undang yang sudah mendapatkan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), apabila menemukan adanya kesalahan teknis.

Hal ini juga mengubah posisi Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia yang sebelumnya selalu menetapkan UU, kini juga dimiliki Sekretariat Negara, karena dapat menetapkan UU yang dibuat menggunakan metode omnibus.

Menanggapi UU ini, Direktur Advokasi dan Jaringan Pusat Studi Hukum dan Kebijakan (PSHK), Fajri Nursjamsi, menilai Presiden dan DPR telah melewatkan momentum untuk melakukan reformasi terhadap proses pembuatan aturan hukum.

"Tetapi sayangnya DPR dan pemerintah mengerdilkan momentum ini, banyak hal yang harusnya jadi visi pemerintah dan DPR untuk perundang-undangan tidak dimasukkan," ujarnya saat dihubungi Rabu (22/6).

Menurutnya, UU PPP tidak mendukung upaya untuk menyelesaikan permasalahan tata kelola pembuatan legislasi di Indonesia. Persoalan ini menjadi salah satu janji kampanye Jokowi, yaitu menegakan sistem hukum yang bermartabat dan terpercaya.

Dalam catatan PSHK, terdapat lima masalah menyangkut tata kelola pembentukan legislasi. Hal ini mencakup perencanaan legislasi yang tidak selaras dengan perencanaan pembangunan. Kemudian materi muatan yang tidak sesuai dengan bentuk peraturan, dan adanya kondisi hiper-regulasi, yaitu terlalu banyaknya peraturan di level eksekutif.

Selain itu, pelaksanaan pengawasan dan eksekusi rekomendasi dari hasil evaluasi peraturan perundang-undangan masih lemahnya. Terakhir, kelembagaan pembentuk peraturan perundang-undangan yang bekerja secara parsial.

Dia melihat pemerintah dan DPR terkesan hanya fokus pada masalah hiper-regulasi, yang seolah-olah dapat diselesaikan dengan ketentuan tambahan tentang metode omnibus. Padahal, metode omnibus tidak menyelesaikan permasalahan hiper-regulasi.

Fajri berkaca pada UU Cipta Kerja, yang telah dinyatakan inkonstitusional bersyarat oleh Mahkamah Konstitusi (MK), dan menjelaskan keberadaan Undang-Undang omnibus tidak dapat mencegah kelahiran regulasi baru dalam jumlah banyak.

Halaman:
Reporter: Aryo Widhy Wicaksono
Berita Katadata.co.id di WhatsApp Anda

Dapatkan akses cepat ke berita terkini dan data berharga dari WhatsApp Channel Katadata.co.id

Ikuti kami

Artikel Terkait

Video Pilihan
Loading...