Pemerintah Pesimistis Revisi KUHP Dapat Disahkan di Masa Sidang V DPR

Aryo Widhy Wicaksono
23 Juni 2022, 18:11
Wakil Menteri Hukum dan HAM Edward Omar Sharif Hiariej (kiri) dan Wakapolri Komjen Pol Gatot Eddy Pramono (kanan) di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Senin (7/6/2021).
ANTARA FOTO/Dhemas Reviyanto/wsj.
Wakil Menteri Hukum dan HAM Edward Omar Sharif Hiariej (kiri) dan Wakapolri Komjen Pol Gatot Eddy Pramono (kanan) di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Senin (7/6/2021).

Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (Kemenkumham) pesimistis Revisi Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) dapat selesai pada masa sidang ini, sesuai harapan dari Komisi III Dewan Perwakilan Rakyat (DPR).

Menurut Wamenkumham Edward Omar Sharif Hiariej, masa sidang ini tinggal menyisakan dua pekan, karena rapat paripurna penutupan masa sidang V tahun 2021-2022 akan digelar pada 7 Juli 2022 mendatang. Setelah itu, DPR akan memasuki masa reses, dan masa sidang baru akan dibuka kembali pada 16 Agustus mendatang.

Advertisement

"Kalau melihat kurang dari dua minggu sudah masa reses, rasanya belum disahkan pada bulan Juli. Tetapi sekali lagi kami masih menunggu," jelas Eddy, sapaan akrab Wamenkumham, dalam diskusi RUU KUHP di kantor Kemenkumham, Jakarta, Kamis (23/6).

Dengan sisa waktu tersebut, Eddy mengaku sulit untuk memprediksi apakah revisi KUHP dapat segera disahkan. Terutama jika mengingat masih ada 14 isu utama yang harus dibahas bersama DPR. Isu tersebut di antaranya meliputi, perzinahan, pidana mati, penghinaan presiden dan wakil presiden, ilmu gaib, hingga contempt of court.

Meski pesimistis, Eddy memastikan komitmen pemerintah untuk segera menyelesaikan naskah revisi KUHP. "Fokus pemerintah saat ini adalah menyelesaikan draf berdasarkan masukan, mengurus soal typo, rujukan, singkronisasi antara batang tubuh dan penjelasan," ucap Eddy.

Sebagai seorang praktisi hukum, Eddy memahami pentingnya posisi KUHP dalam memberikan kejelasan kepada masyarakat, sebagai acuan hukum pidana ketika mereka menghadapi persoalan hukum.

Sementara saat ini, dia masih menemukan sejumlah pasal pada KUHP yang multitafsir. Contohnya, kata Eddy, terdapat perbedaan terjemahan antara R. Soesilo dan Moeljanto menyangkut Pasal 110 KUHP. Menurut versi Moeljanto, pidana yang ditetapkan sama dengan kejahatan itu dilakukan yang berarti pidana mati. Sedangkan versi Soesilo pidananya hanya enam tahun.

"Artinya apa, jutaan orang dipidana dengan KUHP yang tidak pasti, dan perbedaan prinsip itu tidak hanya dalam rumusan delik, tetapi pada elemen sanksi pidana," jelas Eddy.

Halaman:
Reporter: Aryo Widhy Wicaksono
Berita Katadata.co.id di WhatsApp Anda

Dapatkan akses cepat ke berita terkini dan data berharga dari WhatsApp Channel Katadata.co.id

Ikuti kami

Artikel Terkait

Video Pilihan
Loading...
Advertisement