Tren Media Sosial Ungkap Polarisasi Berpotensi Terulang di Pemilu 2024

Aryo Widhy Wicaksono
17 Desember 2022, 16:06
Sesi foto Jajaran ketua partai politik usai penggumuman nomor urut partai politik (parpol) di kantor KPU, Jakarta, Rabu (14/12).
Muhammad Zaenuddin|Katadata
Sesi foto Jajaran ketua partai politik usai penggumuman nomor urut partai politik (parpol) di kantor KPU, Jakarta, Rabu (14/12).

Tren pola narasi di media sosial terkait Pemilu 2024 dinilai menunjukkan peta yang mirip dengan Pemilu 2019. Hal ini diungkapkan Yayasan Tifa, berdasarkan pantauan Drone Emprit dalam tiga bulan terakhir.

Drone Emprit merupakan sebuah sistem untuk memantau dan menganalisa percakapan di media sosial, terutama Twitter dan Facebook.

Direktur Eksekutif Yayasan Tifa, Shita Laksmi, khawatir jika Pemilu 2024 akan kembali diisi dengan berbagai praktik buruk politik yang menciptakan polarisasi di masyarakat.

Terutama dengan meningkatnya pengaruh informasi melalui media sosial, yang di dalamnya juga terdapat berita bohong, disinformasi, atau misinformasi. Selain itu, didukung juga dengan adanya pelemahan terhadap ruang publik dan kebebasan bersuara, serta semakin terbukanya celah praktik oligarki.

Untuk itu, ia berharap masyarakat dapat bersama-sama meminimalisir polarisasi, dengan cara merawat keberagaman. "Kedewasaan demokrasi bisa kita raih dengan merawat keberagaman di tengah-tengah masyarakat. Bahkan memandang keragaman sebagai aset perubahan," ungkap Shita melalui siaran pers Ulang Tahun ke-22 Yayasan Tifa, yang diterima redaksi Katadata.co.id Sabtu (17/12).

Menurutnya, Pemilu perlu dipandang sebagai suatu momen berdemokrasi yang adil dan setara, juga menyenangkan. Perbedaan pandangan maupun pilihan pemimpin patut dilandasi oleh rasa saling percaya, toleransi, dan menghargai.

"Tifa melihat pentingnya merawat keberagaman dalam Pemilu 2024 karena keberagaman adalah esensi Indonesia yang sudah mulai sulit
dipertahankan,” tambahnya.

Salah satu faktor utama yang menyebabkan polarisasi adalah politik identitas. Hal ini karena banyak elite politik yang menggunakannya sebagai cara untuk meraih dukungan politik.

Menurut survei Litbang Kompas tentang situasi politik nasional, mayoritas responden menilai buzzer/influencer yang provokatif bisa menciptakan polarisasi politik di masyarakat memanas.

Sebanyak 21,6% responden lain menilai polarisasi politik bisa meruncing, karena penyebaran informasi yang tidak lengkap atau hoaks, 13,4% karena kurangnya peran tokoh bangsa dalam meredakan perselisihan, dan 5,8% karena media sosial.

Hal senada juga diungkapkan Dewan Pengurus Yayasan Tifa, Endy Bayuni. Ia menilai demokrasi di Indonesia selalu menjadi sebuah pekerjaan yang terus berproses.

Halaman:
Berita Katadata.co.id di WhatsApp Anda

Dapatkan akses cepat ke berita terkini dan data berharga dari WhatsApp Channel Katadata.co.id

Ikuti kami

Artikel Terkait

Video Pilihan
Loading...