Jangan Lagi Model Proyek

Image title
Oleh
22 Juli 2013, 00:00
1123.jpg
Arief Kamaludin | KATADATA
Gamawan Fauzi, Menteri Dalam Negeri - KATADATA | Bernard Chaniago

KATADATA ? Pengalamannya yang panjang sebagai Bupati Solok (1995-2005) dan Gubernur Sumatera Barat (2005-2009) membuat Gamawan Fauzi tahu persis apa model pembangunan yang tepat untuk bisa melibatkan warga masyarakat. Salah satu yang selalu dikritiknya adalah pembangunan yang berbasiskan model proyek.

Sebuah pengalaman menarik pernah dialami dirinya saat masih berkiprah membangun daerah, sebelum ia didapuk menjadi Menteri Dalam Negeri oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Dikisahkannya ketika pada suatu hari ia berkunjung ke sebuah pasar.

Di tengah-tengah pasar itu, didapatinya sebuah selokan yang sudah dua hari airnya melimpah ke jalan. Rupanya selokan itu dalam kondisi mampet. Tanpa pikir panjang, ia meminta sopirnya menghentikan kendaraan yang ditumpanginya.

?Saya turun ke situ. Saya tusuk dengan galah. Tidak sampai setengah jam, pekerjaan yang saya lakukan bersama sopir dan ajudan itu rampung,? ujarnya ketika menerima tim Katadata dalam sebuah wawancara khusus di kantornya di Jl. Medan Merdeka Utara, Jakarta Pusat. ?Masyarakat tidak malu, padahal (selokan itu) di halaman tokonya. Kita kehilangan rasa memiliki.?

Menurut peraih penghargaan Bung Hatta Anti Corruption Award ini, sikap tak acuh itu disebabkan oleh pola pikir masyarakat yang sejak awal Orde Baru kerap terperangkap model proyek dalam membangun sesuatu. Selalu dipikirnya bahwa proyek itu adalah kepunyaan pemerintah.

Itu sebabnya, jika rusak diserahkan sepenuhnya ke pemerintah untuk memperbaikinya.  Pemeliharaannya pun dipasrahkan ke pemerintah. Berkaca dari pengalaman itu, ia mendukung Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM) Mandiri Perdesaan di bawah koordinasinya, yang mendorong inisiatif warga.

Bagaimana Anda melihat PNPM selama ini?
Banyak program pembangunan turun dari ?atas?, tapi kemudian tidak bermanfaat. Ini karena masyarakat tidak merasa memiliki. Sense of belonging masyarakat rendah. Berbeda dengan proyek yang dikerjakan masyarakat sendiri. Mereka akan rawat. Hasilnya akan lebih maksimal. Ini kekuatan PNPM.

Contohnya?
Ketika saya menjabat Bupati Solok, Provinsi Sumatera Barat, daerah saya menjadi pilot project PNPM. Kami bangun infrastruktur air bersih. Masyarakat merasa ini kebutuhan mereka, akibatnya tingkat partisipasi tinggi. Lahan pekarangan mereka dipakai untuk jalur air. Pipa dan bak-bak penampungan juga dibangun. Semua itu tidak pernah ada yang dibayar. Tapi, ketika semua itu menjadi proyek pemerintah semata, semua meminta ganti rugi, sekecil apa pun. Saya pernah membangun micro-hydro tidak melalui PNPM. Program itu hanya bisa bertahan dua tahun. Seharusnya mereka kelola sendiri. Tapi, tidak mau, karena dianggap proyek pemerintah. Pembangunan seolah-olah menjadi kepentingan pemerintah saja.

Bagaimana pola yang ideal?
Jika semua proyek pembangunan diurus pemerintah, akan habis semua. Kerap terjadi rakyat dan pemerintah berada di dua kutub yang berhadap-hadapan. Padahal, semestinya merupakan partner. Pihak pemerintah membantu membiayai, tapi masyarakatlah yang berpartisipasi dengan merencanakan dan meninjau kebutuhan mereka sendiri. Itulah inti PNPM. Pemerintah tidak perlu intervensi apa kebutuhan mereka. Pendamping pun hanya memfasilitasi. Jadi, di desa seyogyanya pembangunan dilakukan dengan model seperti ini, kecuali yang berskala besar dan rakyat tidak mampu mengerjakan.

Apa keuntungannya dengan pola seperti ini?
Keuntungannya, pemborong (pengerjaan proyek) hilang. Biaya administrasi tender pun tidak perlu, dan rasa memiliki tumbuh. Karena masyarakat berkeringat, maka proyek yang dibangunnya pun akan dijaga.

Halaman:
Reporter: Redaksi
Editor: Arsip
Berita Katadata.co.id di WhatsApp Anda

Dapatkan akses cepat ke berita terkini dan data berharga dari WhatsApp Channel Katadata.co.id

Ikuti kami

Artikel Terkait

Video Pilihan
Loading...