Pemerintah Kejar Pajak Google, Facebook, Twitter, dan Yahoo

Desy Setyowati
7 April 2016, 12:09
Joko Widodo
Foto:BPMI Setpres
Presiden Jokowi berdialog dengan CEO Google Sundar Pichai di san Fransisco.

Direktorat Jenderal Pajak (DJP) tengah memeriksa secara khusus empat perusahaan provider digital economy. Empat korporasi multinasional ini semestinya masuk dalam kriteria Badan Usaha Tetap (BUT), sebagai objek pajak. Merka yaitu Facebook, Twitter, Google, dan Yahoo.

Menteri Keuangan Bambang Brodjonegoro menyebutkan, Facebook dan Twitter terdaftar di Indonesia sebagai kantor perwakilan atau representative office. Bertindak sebagai dependent agent, yakni Twitter Asia Pacifik dan Facebook Singapre Pte Ltd yang berkedudukan di Singapura. Karena itu, kedua perusahaan ini membayar pajak di Negeri Singa tersebut.

Advertisement

Menurut Bambang, semestinya Facebook dan Twitter membayar pajak di Indonesia. Karenanya, Kantor Pelayanan Pajak Badan dan Orang Asing (Badora) Kantor Wilayah DJP Jakarta Khusus menetapkan dua perusahaan itu sebagai BUT atau bagian dari sumber penerimaan pajak. Landasannya, penghasilan Fecebook dan Twitter diperoleh di Indonesia. Hal ini dikenal sebagai prinsip force of attraction rule. (Baca juga: Jokowi Blusukan ke Markas Facebook dan Google).

Menariknya, Google dan Yahoo yang bertindak sebagai dependent agent juga berasal dari Singapura. Yakni dengan nama Google Asia Pacifik dan Yahoo Singapura Ltd. Karena tidak tercatat sebagai BUT, keduanya juga tidak membayar pajak di Indonesia. Padahal Google sudah terdaftar sebagai Penanam Modal Asing (PMA) sejak 2011, sedangkan Yahoo dari 2009.

“Mereka dapat penghasilan dari sini. Seharusnya mereka bayar pajak di sini,” kata Bambang di kantor Direktorat Jenderal Pajak, Jakarta, Rabu, 6 April 2016. Bambang yakin, meski keempat perusahaan ini dikenai pajak tidak akan lari dari Indonesia. Karena keuntungan yang didapat cukup besar. (Baca pula: 2.000 Perusahaan Asing Tak Bayar Pajak, Negara Rugi Rp 500 Triliun).

Kepala Kantor Wilayah Direktorat Pajak Jakarta Khusus M. Hanif mengatakan awalnya Google juga bukan tercatat sebagai BUT atau permanent establishment di Inggris. Karena itu pajak yang dibayarkan hanya 1,3 juta poundsterling. Namuan setelah dijadikan BUT, pajaknya meningkat menjadi 130 juta poundsterling. Kebijakan serupa, menurut dia, semestinya bisa diterapkan di Indonesia tanpa mengganggu iklim investasi.

Selama ini, Google hanya membayar pajak penghasilan Pasal 21 dan 23. Pajak ini ditanggung oleh karyawan, bukan merupakan pajak perusahaan. Pajak terbesar justru dibayarkan ke Singapura. Sementara di dalam negeri hanya dapat fee saja. “Kalau kami lihat banyak potensi pajak yang seharunya milik Indonesia hilang. Begitu juga dengan Google, Twitter, Facebook, dan Yahoo,” ujar dia.

Untuk mengejar wajib pajak luar negeri, Kementrian Keuangan bekerja sama dengan Kementerian Komunikasi dan Informatika agar perusahaan-perusahaan  provider digital ini mendaftarkan diri sebagai BUT. Pemajakan kepada perusahaan asing ini mencakup tiga kreiteria: yakni menjalankan usaha, merupakan anak usaha di Indonesia, serta menjalankan usaha atau kegiatan melalui BUT. (Lihat pula: Direktorat Pajak Siapkan 10 Langkah Genjot Penerimaan 2016).

Menurut Hanif, hal itu sesuai Pasal 2 ayat 5 Undang-Undang Pajak Penghasilan (PPh). Di sana disebutkan BUT yaitu bentuk usaha yang dipergunakan oleh orang pribadi yang tidak bertempat tinggal di Indonesia atau berada tidak lebih dari 183 hari dalam jangka waktu setahun. Atau badan yang tidak didirikan dan bertempat di Indonesia, untuk menjalankan usaha di Tanah Air ini.

Halaman Selanjutnya
Halaman:
Berita Katadata.co.id di WhatsApp Anda

Dapatkan akses cepat ke berita terkini dan data berharga dari WhatsApp Channel Katadata.co.id

Ikuti kami

Artikel Terkait

Video Pilihan
Loading...
Advertisement