SKK Migas: Alokasi Minyak Kilang TWU Terganjal Harga

Anggita Rezki Amelia
14 April 2016, 20:55
Kepala SKK Migas Amien Sunaryadi
Arief Kamaludin | Katadata
Kepala SKK Migas Amien Sunaryadi

Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas) masih belum memutuskan alokasi minyak bumi dari Lapangan Banyu Urip di Blok Cepu kepada kilang milik PT Tri Wahana Universal (TWU). Penyebabnya, sampai saat ini pemerintah belum memutuskan harga minyak tersebut.

Kepala SKK Migas Amien Sunaryadi mengatakan, saat ini ada dua pandangan mengenai harga minyak dari Lapangan Banyu Urip. Pertama, pihak yang memandang harga minyak itu seharusnya dihitung berdasarkan harga di fasilitas kapal penampungan atau FSO (Floating Storage and Offloading) Gagak Rimang. Namun, ada juga yang menilai penentuan harga tidak harus di FSO, bisa juga dengan formula mulut sumur minyak.

Dengan formula harga mulut sumur, TWU akan mendapatkan harga yang lebih murah dibandingkan harga patokan dari FSO. Tapi untuk menggunakan formula tersebut, masih menunggu keputusan dari pemerintah. “TWU belum diberi alokasi minyak mentah karena belum ada kesepatakan harga,” kata Amien dalam rapat kerja dengan Komisi Energi Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Selasa (12/4).  

Meski harga mulut sumur lebih murah, ada beberapa kendala untuk menggunakan formula tersebut. Amien mengatakan, berdasarkan audit Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) terbaru, ada kesalahan jika menjual minyak dengan memakai harga di mulut sumur. Namun, dia menyebut audit itu masih belum selesai sehingga SKK Migas masih menunggu laporan dari BPK. (Baca: BPK Telusuri Potensi Kerugian Negara Penjualan Minyak Blok Cepu)

Berdasarkan informasi yang diperoleh Katadata, audit ini dilakukan terhadap penjualan minyak Lapangan Banyu Urip kepada TWU periode April sampai Desember 2015. Hasil awal audit BPK menemukan potensi kerugian negara sebesar US$ 3,6 juta atau sekitar Rp 47 miliar dari proses penjualan minyak Blok Cepu kepada TWU. Penyebabnya adalah harga jual minyak yang ditetapkan pemerintah di bawah harga acuan minyak Indonesia atau Indonesia Crude Price (ICP).

Pertamina EP Cepu (PEPC) sebagai salah satu kontraktor di Blok Cepu juga menunggu keputusan pemerintah. Direktur Utama PEPC Adriansyah mengatakan, pihaknya memang memiliki perjanjian kewajiban dengan TWU untuk menjual minyak jatah PEPC di Lapangan Banyu Urip sebanyak 6 ribu barel per hari (bph). "Saya dengar dari (Dirjen) Migas dalam waktu dekat akan ada keluar keputusan harga," ujar dia dalam diskusi dengan sejumlah media massa pekan lalu. (Baca: Pertamina Minta Harga Wajar Penjualan Minyak Blok Cepu ke TWU)

Pemerintah sampai saat memang belum menentukan harga jual minyak dari Lapangan Banyu Urip. Direktur Jenderal Minyak dan Gas Bumi (Migas) Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) I.G.N. Wiratmaja Puja mengatakan pemerintah sedang mencari dasar hukum untuk menentukan harga jual minyak tersebut. “"Masih menunggu fatwa hukum dari  Jaksa Agung Muda Perdata dan Tata Usaha Negara (Jamdatun)," ujar dia kepada Katadata, Kamis (14/4).

Di sisi lain, manajamen TWU mengklaim sejak berhentinya produksi kilang pada 20 Januari lalu, perusahaan kehilangan potensi pendapatan  sekitar US$ 480 ribu atau lebih dari Rp 6 miliar per hari dengan memakai asumsi harga minyak US$ 30 per barel. Padahal kilang berukurang mini itu telah beroperasi sejak lima tahun lalu. (Baca: Reaktivasi Kilang TWU di Blok Cepu Tunggu Fatwa Hukum)

Menurut Direktur Utama TWU Rudi Tavinos, TWU sudah menyumbangkan kontribusi pajak yang cukup signifikan kepada pemerintah daerah dan pemerintah pusat dalam berbagai bentuk setoran pajak. Di tahun 2015, total kontribusi pajak TWU tercatat mencapai lebih dari Rp 311 miliar.  Akibat tidak beroperasi, Rudi terpaksa merumahkan 800 orang karyawan subkontraknya.

Berita Katadata.co.id di WhatsApp Anda

Dapatkan akses cepat ke berita terkini dan data berharga dari WhatsApp Channel Katadata.co.id

Ikuti kami

Artikel Terkait

Video Pilihan
Loading...