DPR Nilai Skema Gross Split Rawan Intervensi Menteri Energi

Anggita Rezki Amelia
25 Januari 2017, 11:33
Migas
Dok. Chevron

Kontrak baru bagi hasil minyak dan gas bumi (migas) gross split mendapat sorotan dari anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan para pelaku industri. Skema ini dianggap bisa memunculkan moral hazard pada pejabat pemerintah dalam penentuan besaran bagi hasil.

Anggota Komisi VII DPR Harry Poernomo mengatakan, celah tersebut ada dalam Pasal 7 Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Nomor 8 tahun 2017 tentang kontrak bagi hasil gross split. Pasal itu membuat intervensi Menteri terlalu besar. “Ini kan bikin timbul moral hazard," ujar dia di DPR, Jakarta, Selasa (24/1).

(Baca: Skema Gross Split Bebaskan Kontraktor dari Sanksi TKDN Minim)

Sebagai gambaran, Pasal 7 menyebutkan dalam hal perhitungan komersialisasi lapangan atau beberapa lapangan tidak mencapai keekonomian (tingkat keuntungan) tertentu, Menteri Energi dapat memberikan tambahan persentase bagi hasil maksimal lima persen ke kontraktor. Sebaliknya, jika melebihi keekonomian, negara dapat tambahan lima persen.

Selain itu, Harry menyorot mengenai kepemilikan aset hulu migas. Dalam aturan baru, seluruh barang dan peralatan yang secara langsung digunakan untuk kegiatan hulu migas yang dibeli kontraktor menjadi milik negara dan dikelola SKK Migas.

Namun, menurut dia, aset yang dibeli kontraktor seharusnya tidak menjadi milik negara. Sebab, negara tidak lagi mengganti biaya yang sudah dikeluarkan kontraktor. "Ini kan bukan skema cost recovery, menurut saya tidak logis" ujar dia. 

Harry juga mengkritik pemerintah yang tidak berkonsultasi dengan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) ketika membuat aturan tersebut. “Saya yakin 10 tahun tidak ada yang mau ikuti ini gross split," kata dia. (Baca: Kuasai Aset Migas, Pemerintah Dinilai Tak Konsisten Pakai Gross Split)

Di sisi lain,  Vice President Public and Government Affairs ExxonMobil Indonesia, Erwin Maryoto mengatakan skema itu memiliki kelemahan maupun kekuatan. Salah satu hal positif dari aturan itu, kontraktor dapat mempersingkat proses bisnis dan terhindar dari audit cost recovery atau penggantian biaya operasional yang selama ini sering menjadi perselisihan dengan pemerintah.

Sisi minusnya adalah kompleksitas yang harus dihadapi kontraktor pada saat negosiasi dengan pemerintah dalam menetapkan bagi hasil dengan gross split. Selain itu, dengan skema ini penghitungan depresiasi kapital berlaku sepanjang umur kontrak. "Kami melihat aspek-aspek itu ketika ditawarkan blok baru," kata dia.

Sebaliknya, Presiden Direktur Pertamina Hulu Energi (PHE) Gunung Sardjono Hadi tidak keberatan dengan aturan gross split yang mengharuskan negara menguasai aset hulu migas kontraktor. "Kami bertanggung jawab lagi melakukan kegiatan decommissioning," kata dia. (Baca: Skema Gross Split Bisa Hambat Pengembangan Teknologi Migas)

Sementara itu, Presiden Direktur Total E&P Indonesie Arividya Noviyanto belum mau berkomentar terkait aturan gross split yang diterbitkan pemerintah. "Kami masih lihat lagi kelengkapan gross split ini dari segi perhitungan biaya dan lain-lain," ujar dia.

Berita Katadata.co.id di WhatsApp Anda

Dapatkan akses cepat ke berita terkini dan data berharga dari WhatsApp Channel Katadata.co.id

Ikuti kami

Artikel Terkait

Video Pilihan
Loading...