Rabu 8/2/2017, 02.20 WIB

SEJAK lama Jepang menaruh perhatian serius terhadap pembangunan infrastruktur Indonesia. Ini dikarenakan Indonesia punya posisi penting sebagai mitra dagang dan investasi Negeri Sakura itu.

Infrastruktur jalan adalah salah satunya. Maklum, di ruas-ruas jalan yang menghubungkan kota dan desa di seluruh Indonesia, mobil-mobil buatan Jepang sudah berjaya puluhan tahun lamanya. Itu sebabnya, ketika kemacetan menjadi problem utama Jakarta, Jepang pun segera “turun-tangan”.

Advertisement
 
ERP Singapura
 ERP di Singapura. www.mot.gov.sg
Tanpa adanya solusi, kian bertambahnya mobil akan langsung dituding sebagai biang kerok kemacetan. Ini tentu sebuah ancaman bagi kepentingan bisnis otomotif Jepang di Indonesia. Oleh karenanya, Jepang merasa berkepentingan untuk membantu mengatasi persoalan kemacetan di Jabodetabek.
 
Langkah ini berawal pada Desember 2010, ketika pemerintah Jepang dan Indonesia sepakat menandatangani nota kesepahaman untuk mempromosikan investasi dan pengembangan industri di wilayah ibukota melalui Metropolitan Priority Area (MPA). Di bawah skema ini, pemerintah Indonesia bersama lembaga donor Japan International Cooperation Agency (JICA) mengusulkan sejumlah rencana pembangunan dan perbaikan infrastruktur di Jabodetabek.
 
Sebuah studi lantas dilakukan oleh JICA bertajuk “Master Plan for Establishing Metropolitan Priority Area for Investment and Industry in Jabodetabek Area”. Studi selama 15 bulan sejak Mei 2011 hingga Agustus 2012 ini mengkaji tentang rencana pembangunan sembilan sektor infrastruktur fisik, termasuk jaringan transportasi massal, jalan, bandara, dan pelabuhan.

Penghimpunan data dan analisis dilakukan oleh 11 lembaga dari Jepang, yang terdiri atas delapan perusahaan dan tiga konsultan. Beberapa perusahaan itu di antaranya Mitsubishi Corporation, Chiyoda Corp, JGC Corp, dan Hitachi Ltd. Adapun ketiga perusahaan konsultan yang terlibat yakni Mitsubishi Research Institute, Inc., Oriental Consultants Co, Ltd., dan Nippon Koei Co, Ltd.

Dalam hasil studi JICA yang dirilis pada November 2012 tersebut, salah satu isu yang dikaji adalah tentang bagaimana mengurangi kemacetan lalu lintas di Jabodetabek. Hasilnya, mereka merekomendasikan penanggulangan kemacetan melalui kombinasi pembangunan infrastruktur fisik dan non-fisik.

Untuk pembangunan infrastruktur fisik, dirasa perlu adanya peningkatan kapasitas kereta dan penambahan jaringan jalan. Sedangkan untuk infrastruktur non-fisik, salah satu rekomendasinya adalah Manajemen Pengaturan Lalu Lintas, terutama melalui penerapan Electronic Road Pricing (ERP) atau jalan berbayar secara elektronik.

Saat hasil studi ini terbit, pemberlakuan jalan berbayar memang sudah dimungkinkan secara hukum. Sebab, setahun sebelumnya telah dilansir Peraturan Pemerintah (PP) No 32 Tahun 2011 tentang Manajemen Rekayasa Lalu Lintas.

 Belakangan diketahui bahwa Mitsubishi Heavy Industries (MHI) memang merupakan salah satu peserta tender ERP Jakarta, yang kini sudah memasuki tahap prakualifikasi.

Karena itulah, ketika Joko Widodo dan Basuki Tjahaja Purnama menjadi orang nomor satu dan dua di DKI Jakarta, mereka berkomitmen untuk merealisasikan sistem ERP. Uji coba pun kemudian dilakukan. Satunya di koridor Blok M-Kota pada Juli 2014, dan satunya lagi di sepanjang jalan Rasuna Said, Kuningan, yang dimulai pada akhir September 2014.

Studi Kelayakan ERP Dilakukan

Tiga bulan sebelum pelaksanaan uji coba, JICA bersama Mitsubishi Heavy Industries, Ltd. dan Mitsubishi Research Institute, Inc. juga mulai melakukan penelitian lebih jauh mengenai potensi bisnis dan investasi ERP. Di halaman 2 disebutkan bahwa riset ini bertujuan untuk melakukan studi kelayakan (feasibility study) untuk kepentingan investasi dan bisnis perusahaan Jepang di bidang ERP berdasarkan pola kerjasama kemitraan pemerintah swasta, termasuk menyangkut skema pembiayaan oleh JICA. 

Menurut kajian JICA, dengan tarif Rp 15.000 per perjalanan, proyek ERP dinilai cukup layak investasi bagi perusahaan Jepang, sebab menghasilkan tingkat pengembalian investasi yang memadai. Financial Internal Rate of Return (IRR) dari proyek ini mencapai 20,3 persen, Economic Internal Rate of Return sebesar 103,3 persen, serta Net Present Value (NPV) atau nilai tunai bersih saat ini sebesar Rp 5,5 triliun.

Belakangan diketahui bahwa Mitsubishi Heavy Industries (MHI) memang merupakan salah satu peserta tender ERP Jakarta, yang kini sudah memasuki tahap prakualifikasi. Menjadi pertanyaan kemudian, adakah unsur konflik kepentingan ketika studi ini dijadikan basis penyelenggaraan tender, berhubung Mitsubishi ikut ambil bagian dalam kompetisi memperebutkan proyek ERP.

Survei dilakukan di jalur Blok M-Kota dan Ragunan-Bundaran HI, kemudian hasilnya dirilis pada Maret 2015. Dari survei tersebut diketahui bahwa pada jam-jam sibuk di kedua rute itu, kondisi lalu lintas memburuk dengan kecepatan kendaraan di bawah 10 km per jam.

Mengacu pada Peraturan Pemerintah Nomor 97 Tahun 2012, untuk mengurai kemacetan maka jalan berbayar bisa diterapkan. Sebab di aturan itu disebutkan bahwa pungutan bisa dikenakan kepada pengguna jalan yang melalui ruas jalan tertentu dan pada waktu tertentu, khususnya pada saat kecepatan rata-rata sama atau kurang dari 10 km per jam.

Adapun besaran tarif yang diusulkan yaitu sebesar Rp 10.000-17.500 untuk setiap perjalanan, dengan target pengurangan volume kendaraan 10-30 persen. Jika dipatok tarif Rp 15.000 per perjalanan, maka diperkirakan volume kendaraan akan berkurang 20 persen. Sedangkan total pendapatan yang diperoleh Pemda DKI Jakarta ditaksir sekitar Rp 782 miliar per tahun.

Hasil studi lanjutan itu dituangkan dalam laporan berjudul “Prepatory Survey on Intelligent Transport System Project to Mitigate Traffic Congestion in Jakarta (PPP Infrastructure Project)”.

 Pemprov DKI telah memutuskan untuk mengadopsi sistem ERP di Singapura yang menggunakan teknologi Dedicated Short Range Communication (DSRC).

Studi ini sayangnya tidak mencakup kajian perbandingan teknologi ERP—seperti dilakukan National University of Singapore (NUS)—yang sesungguhnya diperlukan untuk menentukan teknologi apa yang paling tepat diterapkan di Jakarta.

Sebab, seperti dinyatakan pada Bab 8 studi JICA, Pemprov DKI telah memutuskan untuk mengadopsi sistem ERP di Singapura yang menggunakan teknologi Dedicated Short Range Communication (DSRC) atau komunikasi jarak jendek dengan gelombang frekuensi radio.

Sejak awal diperkenalkan pada 1998, sistem ERP di Singapura dikembangkan oleh Mitsubishi (MHI). Sekarang, ketika Singapura akan beralih dari teknologi frekuensi radio (DSRC) ke teknologi satelit (GNSS), MHI kembali mengikuti proses tender pengerjaan sistem baru tersebut. Pada akhir Februari 2016, konsorsium MHI bersama NCS berhasil memenangkan tender ERP tahap kedua ini.

Mengacu pada pola kerja sistem DSRC di Singapura yang menjadi rujukan ERP Jakarta, di setiap jalur ERP dipasang gerbang tanpa pintu yang dilengkapi dengan sensor dan kamera, yang dinamakan Gantry (gate and entry).

Alat ini berfungsi untuk mendeteksi mobil yang lewat dan bisa tertangkap sensor yang tersedia pada Gantry, meskipun kendaraan melaju kencang. Sedangkan pada masing-masing kendaraan akan dipasangi alat bernama On Board Unit (OBU), yang biasanya dipasang di kaca depan mobil.

 Studi JICA sebatas studi kelayakan bisnis, yang tak memuat kajian perbandingan teknologi di dalamnya.

OBU juga dilengkapi dengan e-money atau voucher elektronik. Ketika mobil melalui jalur ERP, otomatis nilai pulsa akan berkurang.

Adapun perbandingan yang dilakukan oleh JICA dalam studi ini sebatas perbandingan biaya dalam penerapan sistem ERP di tiga kota di dunia, yakni Singapura, London dan Stockholm. Menurut JICA, sistem ERP Singapura memang lebih mahal dibandingkan sistem ERP di London dan Stockholm.

Ini dikarenakan sistem ERP Singapura berbasis teknologi DSRC yang mengharuskan pembangunan gantry dengan dilengkapi peralatan sensor untuk berkomunikasi dengan OBU. Sementara, ERP di London dan Stockholm cukup menggunakan kamera untuk mendeteksi kendaraan yang lewat dengan teknologi Automotif Number Plate Recognition (ANPR).

Meski begitu, studi JICA juga memberi catatan, lebih mahalnya biaya sistem ERP Singapura ini diimbangi oleh kemudahan dalam pengoperasiannya. Sebaliknya, untuk sistem ERP di London dan Stockholm, meski biayanya lebih murah, diperlukan upaya lebih besar dalam operasionalnya. Sebab, sistem ini harus mencocokkan pelat nomor dan kepemilikan kendaraan untuk setiap transaksi.

Ketiadaan kajian perbandingan teknologi inilah yang kini mulai mengundang pertanyaan, berhubung studi JICA dijadikan basis oleh Pemprov DKI Jakarta untuk menggelar tender ERP yang hanya berbasis teknologi DSRC. Padahal kenyataannya ada sejumlah teknologi ERP yang digunakan di dunia, yakni DSRC, ANPR, Radio Frequency Identification (RFID) dan Global Navigation Satellite System (GNSS).

Teknologi satelit bahkan kini menjadi pilihan banyak negara di Eropa. Singapura pun akan mulai beralih dari teknologi lama DSRC ke sistem satelit mulai 2018 mendatang.

Hal lain yang bisa mengundang pertanyaan dengan digunakannya studi JICA sebagai basis tender oleh Pemprov DKI Jakarta, yaitu lingkupnya yang sebatas studi kelayakan (feasibility study) investasi jika proyek ERP ini diimplementasikan di Jakarta.

Laporan studi ini juga sekaligus memunculkan pertanyaan atas kesahihan klaim Kepala Dinas Perhubungan DKI Andri Yansyah bahwa berdasarkan kajian JICA, teknologi DSRC-lah yang paling cocok digunakan di Jakarta. Sebab, faktanya dalam laporan ini secara gamblang disebutkan bahwa studi JICA sebatas studi kelayakan bisnis, yang tak memuat kajian perbandingan teknologi di dalamnya.

Penulis
  • Heri Susanto
  • Padjar Iswara
  • Nur Farida Ahniar
  • Anshar Dwi Wibowo
Video / Foto
  • Donang Wahyu
  • Arief Kamaludin
Grafis / Desain
  • Robby Eebor
  • Ade Rahmat Hidayat
  • Dinda Pratika
Programmer
  • Arif Firmansyah
  • Muhammad Wendy
  • Bayu Mahdani