Siti Aisyah dan Potret Kegigihan yang Tak Pernah Sia-sia…

Image title
Oleh - Tim Publikasi Katadata
1 April 2017, 02:00
Siti Aisyah, buruh linting Sampoerna
Istimewa
Siti Aisyah, pelinting di Pabrik Sigaret Kretek Tangan (SKT) Taman Sampoerna, Surabaya, Jawa Timur selama 36 tahun.

Siti Aisyah. Perempuan 52 tahun itu sudah menjalani profesinya sebagai pelinting di Pabrik Sigaret Kretek Tangan (SKT) Taman Sampoerna, Surabaya, Jawa Timur selama 36 tahun. Dedikasi dan kegigihannya dalam bekerja kini telah membuahkan hasil. Dari kerja kerasnya, ia menyisihkan sebagian penghasilan untuk anak-anaknya menyelesaikan pendidikan tinggi. Bangga tak terkira, itu yang dirasakannya. Siti, yang tak lulus SD, tak henti bersyukur bisa mengantarkan anak-anaknya menuju kesuksesan.

Mata Siti Aisyah berkaca-kaca saat berkisah tentang keharuannya menyaksikan putra sulungnya, Adi Kurniawan, diwisuda sebagai sarjana teknik beberapa tahun silam.

“Pas anak saya diwisuda, saya nangis. Enggak membayangkan bisa menyekolahkan anak sampai kuliah. Bapak (suami) sampai bilang, ‘Mbok ojo nangis tha, Bu. Isin (Jangan nangis lah, Bu. Malu)’,” kata Siti.

Adi Kurniawan kini telah menikah dan bekerja di sebuah perusahaan konsultan.

Keharuan yang sama dirasakan nenek dua cucu ini, saat putri keduanya, Anita Kurniasari, menyelesaikan pendidikan diploma di Akademi Perawat Adhi Husada, Surabaya. Bahkan, Anita menjadi salah satu peraih IPK tertinggi.

Siti Aisyah.

Hingga beberapa hari menjelang prosesi wisuda Anita, ia dan suaminya, Karomin (66), tak mengetahui prestasi yang diraih Anita.

“Anak saya hanya bilang, ‘Bu, beli baju seragam sama bapak, ya. Nanti kalau disuruh maju ke depan, maju’. Ternyata, dia masuk tiga besar yang nilainya paling tinggi,” kisah perempuan kelahiran 30 Juni 1964 ini.

Saat ini, Anita bekerja sebagai perawat di salah satu rumah sakit di Surabaya.

Harus lebih baik

Ditemui di rumahnya di kawasan Gadukan Utara, Surabaya, Siti dan Karomin pun mengisahkan tekad keduanya untuk pendidikan ketiga buah hati mereka. Pasangan suami-istri itu sama-sama hanya mengecap hingga jenjang pendidikan dasar. Siti merasakan bangku sekolah hingga kelas 2 SD, sementara Karomin berhasil menyelesaikan pendidikan dasar, namun tak melanjutkan ke jenjang berikutnya.

Siti mengatakan, ayahnya, Sikam, berprofesi sebagai nelayan di Bangkalan, Madura, Jawa Timur. Alasan biaya menjadi penyebab ia tak bisa melanjutkan sekolah. Sementara, ibunya, Osnah, seorang ibu rumah tangga.

“Dulu orangtua saya bilang, enggak ada biaya buat sekolah. Anak perempuan enggak usah sekolah tinggi-tinggi. Saya sedih waktu itu,” ujar Siti mengenang masa kecilnya.

Hal inilah yang memacu tekad Siti. Keinginannya menuntut ilmu terkendala persoalan ekonomi keluarga. Kelak, ia bertekad, anak-anaknya harus mendapatkan pendidikan yang lebih baik.

Keinginan Siti ternyata sejalan dengan Karomin. Sejak membina rumah tangga sekitar tahun 1980-an (Siti lupa tahun pernikahannya), keduanya sama-sama menyisihkan penghasilan untuk biaya untuk pendidikan anak mereka.

Di tengah perjalanan, sang suami sempat mempertanyakan saat Siti tetap mendorong anak-anaknya untuk kuliah selepas menamatkan pendidikan menengah atas.

Saat itu, kesehatan Karomin, yang berprofesi sebagai sopir, memburuk. Hal ini membuat Karomin tak bisa bekerja maksimal. Sementara, berulang kali ia harus menjalani operasi yang membutuhkan banyak biaya.

Siti pun menjadi penopang utama ekonomi keluarga.

“Saya bilang, Bismillah aja. Pasti ada, diusahakan. Yang penting tetap bekerja, menyisihkan buat makan dan sekolah anak-anak,” ujar Siti.

Meski melalui masa-masa sulit, kondisi ini tak menyurutkan tekad Siti dan Karomin.

Mereka menyemangati ketiga anaknya untuk memahami kondisi ekonomi orangtuanya, sehingga bisa memanfaatkan kesempatan mengenyam pendidikan dengan baik.

Siti bersyukur, anak-anaknya, terutama Anita, tergolong berprestasi. Sejak SD hingga kuliah, Anita selalu mendapatkan beasiswa. Ia juga sempat mendapatkan beasiswa pendidikan dari PT HM Sampoerna Tbk (Sampoerna) karena prestasinya.

Siti Aisyah.

“Alhamdulillah, ada beasiswa juga dari perusahaan karena anak saya nilainya bagus di sekolah. Anita itu sampai kuliah dapat beasiswa, ada juga dari BOS (bantuan operasional sekolah),” ujar Siti.

Sementara, putra ketiga Siti, Ari Kristianto, selepas tamat dari Sekolah Teknik Menengah (STM), memilih berwirausaha. Ari tak melanjutkan ke bangku kuliah, karena ingin segera merintis usaha.

Kini, Ari mengelola usaha warnet “Raider Net” di rumah kedua orangtuanya. Rumah hasil kerja keras Siti dan Karomin yang dibeli pada tahun 1994.

Menjadi pelinting

Siti pun melanjutkan kisahnya. Putus sekolah sempat membuat Siti kecewa. Namun, ia memahami kondisi perekonomian kedua orangtuanya tak memungkinkan untuk membiayai pendidikannya.

Siti kecil memutuskan turut bekerja untuk sekadar mendapatkan uang saku untuk dirinya sendiri.

Halaman:
Editor: Arsip
Berita Katadata.co.id di WhatsApp Anda

Dapatkan akses cepat ke berita terkini dan data berharga dari WhatsApp Channel Katadata.co.id

Ikuti kami

Artikel Terkait

Video Pilihan
Loading...