Siasat Baru “Memecah” Kapal

Metta Dharmasaputra
3 April 2017, 09:01
Penangkapan Ikan di Bitung
Katadata

JEFFREY G. Mag-Aso untuk sementara waktu harus memupus hasratnya melanjutkan kuliah di jurusan Kriminologi Universitas Magsaysay. Lajang 27 tahun ini bahkan sejak Januari 2015 lalu tak bisa pulang ke tanah kelahirannya di Balut, Filipina, berhubung sedang menjalani masa tahanan di Bitung, Sulawesi Utara.

Tak hanya dia. Ayahnya, Mateo Mag-Aso Jr (49 tahun), dan adiknya, Jeric G. Mac-Aso ikut ditahan di sana. Jeffrey dan Mateo divonis bersalah oleh Pengadilan Negeri Bitung pada April dua tahun lalu atas dakwaan melakukan tindak pidana perikanan. Sedangkan Jeric sempat menjadi saksi persidangan.

Ayah-anak itu dianggap melakukan praktik ilegal karena mengoperasikan kapal berbendera asing, serta melakukan penangkapan ikan di wilayah perairan Indonesia tanpa mengantongi surat izin. Akibat perbuatannya itu, Jeffrey diganjar hukuman penjara lima tahun plus denda Rp 1 miliar. Sedangkan Mateo dihukum penjara 3 tahun plus denda Rp 1,5 miliar.

Ketiganya diringkus aparat bersama 17 anak buah kapal (ABK) asal Filipina lainnya, setelah kapal KM Garuda-05 dan Garuda-06 yang mereka tumpangi, ditangkap oleh Kapal KP Hiu Macan Tutul-001 di perairan Talaud, Laut Sulawesi. Kapal ini berbobot kecil (kurang dari 10 gross ton) yang dikenal dengan sebutan pump-boat.

Jeffrey dan Mateo sama-sama menjadi nakhoda di kapal itu. Menurut pengakuan Mateo, seperti tertulis dalam dokumen putusan pengadilan yang kami peroleh, ia sebelumnya sudah bolak-balik lima kali menangkap ikan di Laut Sulawesi, dan tidak pernah ada masalah. Tapi kali itu, rupanya mereka sedang apes.

 Selama berpuluh tahun lautan Indonesia tak pernah sepi dari praktik perikanan ilegal dan serampangan, yang dilakukan oleh para nelayan dan pengusaha, baik lokal maupun mancanegara. Jika terus dibiarkan, maka kerusakan akan terjadi.

Kapal patroli milik KKP Hiu Macan Tutul-001 berhasil mengendus aksi KM Garuda 05 dan 06. Langkah gesit tanpa kompromi ini memang bagian dari kebijakan tegas Menteri KKP Susi Pudjiastuti dalam memerangi berbagai praktik illegal, unreported, unregulated (IUU) Fishing di perairan Indonesia yang terus digalakkan sejak 2015.

Ruang gerak para pencoleng ikan, kini memang kian terbatas setelah Menteri Susi mengeluarkan sederet kebijakan anti illegal fishing. Salah satunya, yaitu pelarangan sementara atau moratorium beroperasinya kapal-kapal eks-asing di seluruh perairan Indonesia.

Data Kementerian Kelautan menunjukkan, eksploitasi perikanan berlangsung masif di sejumlah perairan Indonesia, yang membuat populasi ikan dalam kondisi kritis. Termasuk di dalamnya, perairan Bitung di Laut Sulawesi. (Infografik: Eksploitasi Masif, Populasi Ikan Krisis)  Langkah ini dilakukan karena selama berpuluh tahun lautan Indonesia tak pernah sepi dari praktik perikanan ilegal dan serampangan, yang dilakukan oleh para nelayan dan pengusaha, baik lokal maupun mancanegara. Jika terus dibiarkan, maka kerusakan akan terjadi. 

Infografik Bitung
 
 
Dalam peta industri perikanan Asia-Pasifik, posisi Bitung memang cukup penting. Kawasan ini merupakan penghasil tuna cakalang terbesar di Indonesia, yang membuatnya dijuluki sebagai “Kota Cakalang”. Dari wilayah ini pula mengalir pasokan tuna ke pelabuhan General Santos, Filipina, yang berpredikat “Tuna Capital of the Phillipines”. 
 
Pelabuhan Bitung
Kapal Eks Asing yang tidak bisa melaut di perairan Bitung.  Donang Wahyu|KATADATA.
 
 Letak dua kota beda negara ini memang berdekatan, hanya dipisahkan oleh Laut Sulawesi. Berjarak sekitar 518 kilometer, poros Bitung-Gensan bisa ditempuh dalam waktu 30 jam pelayaran. Kedua kota ini merupakan penghasil ikan tuna jenis cakalang terbesar bagi masing-masing negara dan berperan penting di kawasan Asia-Pasifik. 

Beragam Modus

Tiongson Arcade tak pernah sepi. Salah satu tempat paling tersohor di General Santos yang menyajikan hidangan makanan laut segar ini selalu ramai dikunjungi, khususnya di malam hari. Di sinilah tempat para penikmat tuna memanjakan lidahnya.

Pasokan tuna dari Indonesia itu berasal dari Bitung. Wilayah perairan yang dikenal memiliki kekayaan laut melimpah ini selalu tampak seksi di mata para pencari ikan.

Dari mana tuna-tuna segar itu berasal, si pemilik restoran mengatakan ada pemasok yang rutin mengirimkan. “Kebanyakan berasal dari Indonesia, Thailand, Vietnam, bahkan ada yang dari Maladewa,” ujarnya. Letak Bitung yang strategis di lintas Laut Sulawesi, Samudera Pasifik dan Teluk Tomini, juga membuat arus keluar-masuk ke kawasan perairan ini cukup leluasa.

Serbuan pun datang, khususnya dari para penangkap ikan skala besar dan kecil asal Filipina. Beragam modus dilancarkan. Kapal-kapal asing yang sesungguhnya sudah dilarang masuk sejak 2011, tetap berusaha menyusup dengan mematikan alat sistem pelacak kapal (VMS) ketika masuk ke perairan Indonesia. Taktik lainnya, mereka beroperasi dengan bendera ganda (double-flagging).

Ada pula yang mengakalinya dengan berubah wujud menjadi kapal eks-asing berbendera Indonesia, namun sesungguhnya masih dikendalikan oleh pihak asing, dengan nakhoda dan anak buah kapal (ABK) asing. Kamuflase dilakukan dengan mengecat ulang dan mengganti nama lambung kapal menjadi nama Indonesia.

 
Penenggelaman kapal
Kementerian Kelautan dan Perikanan meledakkan Kapal ikan Asing Ilegal, FV Viking di Pengandaran tahun lalu. Arief Kamaludin|KATADATA
Seorang pemain lama di sektor penangkapan ikan di Bitung bercerita, sebagian besar kapal eks-asing di sana sesungguhnya hanya berpindah tangan di atas kertas. Pemilik aslinya tetaplah pemodal asal Filipina, lokasi kapal tersebut dibuat.

“Dia (pemilik Indonesia) bukan real owner. Dia urus izin, setelah dapat, baru ke Filipina untuk menawarkan (kepada investor). Setiap bulan dapat royalti US$ 5.000 per vessel,” ujarnya.

Adapun warga negara Indonesia yang menjadi perpanjangan tangan pemodal Filipina itu dikenal sebagai agen. Mereka tidak hanya mendapatkan royalti per bulan, tetapi juga mengambil keuntungan dari biaya pengurusan izin dan persentase tertentu dari jumlah tangkapan ikan.

Modus lain yang terendus, yaitu menyusutkan bobot kapal (mark-down) untuk menyiasati persyaratan alat tangkap yang diperbolehkan, selain “menghemat” pajak. Mereka pun banyak yang tak melaporkan hasil tangkapannya (unreported fishing) dan membawanya langsung ke luar negeri melalui proses alih muatan (transhipment) di laut lepas. Untuk kapal-kapal dari Bitung, Pelabuhan General Santos menjadi tujuan utama.

Ditengarai, sejumlah Unit Pengolahan Ikan (UPI) yang didirikan di Bitung pun sesungguhnya hanya digunakan sebagai “kedok” untuk memenuhi syarat dalam usaha memperoleh izin penangkapan ikan. Hasil tangkapan ikan tak sepenuhnya masuk ke sana, melainkan ke luar negeri. Indikasi ini, menurut temuan tim KKP, terlihat dari tingkat utilitas UPI yang relatif rendah.

Untuk memerangi berbagai modus itulah, maka Menteri Susi melakukan moratorium kapal eks-asing dan 

di seluruh perairan Indonesia. Meski begitu, celah rupanya belum sepenuhnya tertutup. Sejumlah modus kembali bermunculan.

Serbuan kali ini datang lewat modus pembuatan KTP palsu untuk nakhoda dan ABK asal Filipina, yang menyusup masuk dengan menumpang ratusan pump boat. “Ini siasat baru. Karena kapal besar sudah sulit masuk, para pencuri ikan menggunakan kapal-kapal kecil,” ujar seorang pejabat di Kementerian Kelautan. “Ibarat memecah kapal.”

Pelabuhan Pump Boat
 
Kapal-kapal yang ditangkap oleh petugas PSDKP karena melakukan kegitan IUU Fishing di laut Bitung ditahan dan sebagian dibiarkan hingga rusak tak terawat. Donang Wahyu|KATADATA.
Tumpukan Pump Boat
Pakura (perahu kecil khas Filipina) yang berhasil disita oleh petugas PSDKP Bitung karena melakukan kegiatan IUU Fishing di perairan Bitung.. Donang Wahyu|KATADATA.

Menurut catatan Pengawasan Sumber Daya Kelautan dan Perikanan (PSDKP) Bitung, setidaknya pada 2015 terdapat 34 kasus pidana perikanan yang menggunakan kapal kecil berukuran di bawah 10 GT ini dan melibatkan nelayan asal Filipina. Angka tersebut melonjak menjadi 45 kasus di tahun berikutnya.

“Ini (beroperasinya nelayan Filipina) sepertinya sudah model pembiaran. Sampaikan ke teman-teman Angkatan Laut dan Polair, ini sudah bisa dikategorikan penyusupan karena berlangsung terus dari tahun ke tahun,” kata Kepala Seksi Pengawasan dan Penanganan Pelanggaran PSDKP Bitung Salman Mokoginta, di PSDKP Bitung, awal Januari lalu.

Pejabat Filipina

Alfredo A. Lora termasuk yang sudah mencicipi gurihnya bisnis penangkapan ikan tuna dengan menggunakan pump boat di perairan Talaud, Sulawesi Utara. Ia adalah pemilik kapal dengan nama lambung Super Lola, yang juga tercatat sebagai anggota Municipal Councillor atau Dewan Kota Sarangani, provinsi Davao, Filipina.

Super Lola tak lain adalah nama lawas dari kapal KM Garuda-05 yang tertangkap oleh Kapal Hiu Macan Tutul-001 di perairan Talaud, Laut Sulawesi, pada 24 Januari 2015. Kepastian ini diperoleh berkat keterangan dari Mateo Mag-Aso, nakhoda kapal itu dalam pemeriksaan dan persidangan.   

Halaman:
Berita Katadata.co.id di WhatsApp Anda

Dapatkan akses cepat ke berita terkini dan data berharga dari WhatsApp Channel Katadata.co.id

Ikuti kami

Artikel Terkait

Video Pilihan
Loading...