Transparansi untuk Kesejahteraan

Nur Farida Ahniar
27 April 2017, 18:54
Tambang batubara
Donang Wahyu|KATADATA

Lebih separuh abad, sumber daya alam (SDA) yang melimpah, baik minyak, gas, dan mineral lainnya, menjadi penopang perekonomian Indonesia. Kegiatan tambang atau ekstraksi kekayaan alam tersebut menciptakan lapangan pekerjaan sekaligus memunculkan bisnis-bisnis baru yang menggerakan roda ekonomi. Penerimaan berupa royalti, bagi hasil, dan berbagai jenis pajak menjadi tulang punggung penerimaan negara untuk membiayai pembangunan. 

Penerimaan yang signifikan terjadi pada periode 1970-2000, yang dikenal sebagai era bonanza emas hitam nasional. Inilah masa ketika produksi minyak mencapai puncak tertinggi, bahkan sempat menyentuh 1,65 juta barel per hari . Dalam kurun waktu itu, rata-rata sektor migas menyumbang 50 persen bagi penerimaan negara. Bahkan pada periode 1978-1984 produk emas hitam ini menyumbang 68 persen dari total penerimaan negara. Namun kemudian kontribusinya terus menurun. Pada 1980-1994 porsi sumbangannya terhadap total penerimaan negara tinggal 34 persen.

Selanjutnya, produksi minyak bumi terus melorot, tapi booming batubara menjadi primadona baru pemasukan negara. BP Statistical Review mencatat, pada 2015, Indonesia merupakan produsen batubara ketiga terbesar di bawah Tiongkok dan Amerika Serikat.

Namun, rontoknya harga komoditas dalam lima tahun terakhir, termasuk migas dan batubara, membuat sektor tambang limbung. Industri ini tak lagi menjadi penyumbang signifikan bagi pendapatan negara.

Total sumbangan migas, misalnya, menciut dari Rp 320 triliun pada 2014 menjadi sepertiganya saja pada 2016. Harga minyak dunia memang turun drastis, dari US$104 per barel pada 2014 menjadi $54 pada April tahun ini.

Yang kemudian menjadi pertanyaan, sebesar apa hasil kekayaan alam itu dimanfaatan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat, seperti diamanatkan konstitusi?

Yang kasat mata, kemiskinan justru terkonsentrasi di daerah-daerah yang selama ini dikenal sebagai lumbung energi, penghasil migas dan batubara. Kutai Kartanegara, misalnya. Daerah “pemilik” Blok Mahakam ini justru menjadi penerima beras miskin terbesar di Kalimantan Timur. Data Dinas Sosial Kalimantan Timur (2015) mencatat sebanyak 5.027 kepala keluarga (KK) di Kutai Kartanegara terdaftar sebagai penerima raskin, terbesar dibanding wilayah lain seperti Kota Samarinda sebanyak 2.732 KK. Sebagai informasi, total penerima raskin di Kaltim mencapai 8.952 KK.

Kemiskinan juga menjadi masalah utama yang dihadapi Provinsi Papua. Daerah yang terkenal dengan kekayaan alam emas dan tembaga ini merupakan provinsi dengan tingkat kemiskinan tertinggi di Indonesia yaitu 28,4 persen (BPS 2016). Hal ini kontras karena daerah ini memiliki produk domestik regional bruto (PDRB) per kapita tertinggi ke tujuh di Indonesia, sebesar Rp 48,3 juta (2015).

Dalam skala global, kenyataan yang sama juga terjadi. Di kawasan Asia Pasifik, sejumlah negara kaya SDA memiliki pendapatan per kapita lebih rendah dibanding negara yang tidak atau hanya memilki sumber daya alam terbatas. Indonesia, Filipina, dan Myanmar, misalnya, jauh tertinggal dibanding Singapura, Jepang, dan Korea Selatan.

Halaman:
Reporter: Nur Farida Ahniar
Berita Katadata.co.id di WhatsApp Anda

Dapatkan akses cepat ke berita terkini dan data berharga dari WhatsApp Channel Katadata.co.id

Ikuti kami

Artikel Terkait

Video Pilihan
Loading...