DPR Sebut Utang Turki Lebih Baik, Sri Mulyani Beri Pembelaan
Komisi Keuangan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) menilai, utang Turki lebih efektif mendorong pertumbuhan ekonomi dibandingkan dengan utang Indonesia. Meski imbal hasil (yield) surat utang pemerintah Turki tinggi sehingga biaya utangnya besar, namun Turki bisa menggenjot ekonominya tumbuh tinggi.
Anggota Komisi Keuangan dari Fraksi Partai Amanat Nasional (PAN) Jon Erizal mengatakan, ekonomi Turki mampu tumbuh hingga 5,1% di kuartal II 2017. "Bagaimana utang itu alokasikan itu di sektor-sektor yang produktif. Turki yang yield-nya 10,35% bisa tumbuh cepat," kata dia dalam Rapat Kerja dengan pemerintah di Gedung DPR, Jakarta, Senin (11/9).
Menanggapi pernyataan tersebut, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menjelaskan, Turki mengalami kondisi ekonomi yang memburuk pada 2002. Persoalan yang dialami yaitu stabilitas nilai tukar hingga defisit transaksi berjalan (current account defisit/CAD), neraca pembayaran dan fiskal.
"Sesudah mereka ada di bawah program Dana Moneter Internasional (International Monetary Fund/IMF) cukup lama, maka dia konsolidasi fiskal dan pembiayaan untuk keuangan. Artinya, mereka issue capital market dan bond market cukup dalam 15 tahun lalu. Maka pembiayaannya jadi lebih tergantung ke luar negeri terutama Eropa," kata dia.
Setelah itu, Turki melakukan pembenahan besar-besaran dengan menyiapkan kawasan ekonomi untuk mendorong industrialisasi. Selain itu, Turki juga meningkatkan barang subsititusi impor. Dengan cara itu, investasi asing langsung (Foreign Direct Investment/FDI) meningkat dan persoalan neraca pembayarannya teratasi. (Baca juga: Batam, Bintan dan Karimun Diusulkan jadi Kawasan Ekonomi Khusus)
Defisit transaksi berjalannya juga membaik karena ketergantungan pada aliran modal asing masuk (capital inflow) jangka pendek sudah digantikan oleh yang jangka panjang yakni investasi asing langsung. Adapun di sisi fiskal, Turki juga melakukan disiplin pembiayaan untuk menjaga defisitnya.
Atas dasar itu, ia menjelaskan, efektifnya pembiayaan utang Turki terhadap pertumbuhan ekonomi terutama dikarenakan adanya reformasi di sektor riil.
Sementara di Indonesia, Sri Mulyani menjelaskan, yield utang Indonesia sudah menurun dari 7,5% di awal tahun menjadi 6,5% sehingga beban utang ke depan berkurang. Menurunnya yield ini menunjukkan bahwa minat investor terhadap instrumen surat utang (obligasi) yang diterbitkan pemerintah meningkat. (Baca juga: Berkah Level Layak Investasi, Pemerintah Hemat Bunga Utang Rp 6 T)
Adapun utang yang ditarik pemerintah digunakan untuk membiayai berbagai belanja pemerintah. Strategi belanjanya, efisiensi belanja barang dan optimalisasi belanja modal untuk kegiatan produktif yaitu pembangunan infrastruktur. Tujuannya, guna mendorong pertumbuhan ekonomi. Strategi ini diambil lantaran kebutuhan infrastruktur di Indonesia masih cukup besar.
"Berbeda dengan Jepang yang kalau dia ekspansi besar sekali di infrastruktur, itu dia tidak terpakai. Kalau Indonesia gap (kesenjangan) infrastrukturnya jauh, makanya (pembangunan infrastruktur) bisa ciptakan growth (pertumbuhan ekonomi)," kata dia.
Pada 2018, utang baru diusulkan mencapai Rp 399,2 triliun dan akan diarahkan untuk belanja yang produktif. Sebagai contoh, utang dari hasil penerbitan Surat Berharga Syariah Negara (SBSN) atau Sukuk Negara sebesar Rp 22,5 triliun akan dipakai untuk pembiayaan proyek di tujuh kementerian dan lembaga (K/L).
Rinciannya, sebesar Rp 12,8 triliun untuk infrastruktur dasar; Rp 7 triliun untuk infrastruktur perhubungan; Rp 2,2 triliun untuk pembangunan 33 perguruan tinggi keagamaan Islam Negeri dan pembangunan asrama haji di delapan embarkasi; serta, Rp 500 miliar untuk riset teknologi dan pendidikan tinggi.
Ia pun menambahkan, pemerintah juga sudah membuat rambu-rambu agar 25% dana transfer ke daerah dialokasikan untuk pembangunan infrastruktur. “Kalau enggak ada rambu-rambu begitu, semua untuk konsumsi,” ucapnya.