Bankir Belum Satu Suara Dukung Isi Ulang E-Money Kena Biaya

Desy Setyowati
18 September 2017, 20:06
Kartu e-money
Katadata | Agung Samosir

Rencana Bank Indonesia (BI) menerbitkan aturan tentang pengenaan biaya isi ulang (top up) uang elektronik (e-money) terus menuai penolakan. Setelah Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) buka suara memprotes rencana tersebut, belakangan giliran pengacara David Maruhum Tobing yang melaporkan rencana tersebut kepada Ombudsman RI.

Di tengah berkembangnya penolakan, para bankir  pun belum satu suara mendukung rencana pengenaan biaya isi ulang tersebut. Wakil Ketua Perhimpunan Bank-Bank Nasional (Perbanas) Farid Rahman, misalnya, menyiratkan keinginannya agar isi ulang e-money tetap gratis.

Advertisement

"Kami sih maunya yang memudahkan ya, enggak ada fee. Tapi kan banyak pertimbangan kenapa ini harus ada fee (biaya) dan sebagainya," kata dia saat Konferensi Pers terkait Indonesia Banking Expo (IBEX) di Jakarta Convention Center (JCC), Jakarta, Senin (18/9). (Baca juga: Kenakan Biaya Isi Ulang Uang Elektronik, BI Dilaporkan ke Ombudsman)

Ia pun menduga rencana tersebut belum final. Sebab, biasanya BI lebih dulu mengajak diskusi berbagai pihak sebelum menerbitkan aturan. "Biasanya itu akan diskusi dulu sebelum (aturan) launching (diterbitkan). Kami sih maunya enggak ada biaya," ucapnya.

Sementara itu, Anggota Bidang Hubungan Masyarakat (Humas) Perbanas Ahmad Fajar menjelaskan, selama ini, dana dari uang elektronik memang tak bisa mengompensasi penyediaan infrastruktur untuk sistem pembayaran non-tunai. Sebab, tak bisa dikategorikan sebagai Dana Pihak Ketiga (DPK), tapi sebagai dana yang akan segera digunakan. 

Ini artinya, tidak bisa serta-merta diputar bank dalam bentuk kredit atau penempatan lainnya yang menguntungkan bank. "Kalau ini (uang elektronik) dana yang akan segera digunakan. (Misalnya) kalau Jasa Marga mau langsung ambil ya enggak ada penempatan (DPK di bank). (Begitu juga dengan) Jasa pengelola lain," kata dia. (Baca juga: Bank Beberkan Tiga Alasan Perlunya Biaya Top Up Uang Elektronik)

Direktur Institusi Bank Rakyat Indonesia (BRI) Sis Apik Wijayanto pun menjelaskan, beberapa biaya yang harus dikeluarkan bank untuk infrastruktur pembayaran non-tunai, di antaranya penyediaan mesin Electronic Data Capture (EDC) yang membutuhkan biaya berkisar Rp 2,5 juta sampai Rp 3 juta per mesin. Selain itu, biaya jaringan komunikasi, struk kertas, hingga pemeliharaan (maintenance).

"Untuk menerbitkan uang elektronik tidak mudah. Harus produksi kartu, infrastruktur, itu semuanya. Dan untuk, misal, kartu chip-nya saja sekarang harga pokoknya Rp 18 ribu sampai Rp 20 ribu (per kartu)," ujar Sis. Itulah sebabnya BRI membandrol kartu uang elektroniknya yaitu Brizzi sebesar Rp 20 ribu.

Halaman:
Berita Katadata.co.id di WhatsApp Anda

Dapatkan akses cepat ke berita terkini dan data berharga dari WhatsApp Channel Katadata.co.id

Ikuti kami

Artikel Terkait

Video Pilihan
Loading...
Advertisement