KPK 'Rahasiakan' Pemeriksaan Tersangka BLBI Syafruddin Temenggung

Dimas Jarot Bayu
27 Oktober 2017, 09:08
Febri Diansyah
ANTARA FOTO/Sigid Kurniawan
Juru Bicara KPK Febri Diansyah menjelaskan pemeriksaan terhadap Syafruddin Temenggung terkait kasus BLBI.

Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) telah memeriksa mantan Kepala Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) Syafruddin Arsyad Temenggung pada Senin (23/10). Pemeriksaan terhadap Syafruddin dilakukan tersembunyi, tanpa diketahui awak media.

Pemeriksaan Syafruddin yang diduga korupsi penerbitan Surat Keterangan Lunas Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) dengan kerugian negara Rp 4,58 triliun, tak dilampirkan dalam jadwal pemeriksaan pada Senin lalu.

"Ya benar (dilakukan pemeriksaan terhadam Syafruddin)," kata juru bicara KPK Febri Diansyah saat dihubungi Katadata, Kamis (27/10). (Baca: BPK Temukan Kerugian Negara Kasus BLBI Nursalim Rp 4,6 Triliun)

Pemeriksaan terhadap Syafruddin merupakan yang perdana setelah ia ditetapkan sebagai tersangka. Syafruddin sebelumnya sempat dijadwalkan diperiksa pada 5 Oktober 2017 lalu namun berhalangan hadir. "Penjadwalan ulang dari agenda pemeriksaan sebelumnya," kata Febri.

Febri menuturkan, materi pemeriksaan yang dilakukan penyidik KPK masih sama dengan sebelumnya. KPK masih menanyakan terkait tugas dan kewenangan Syafruddin ketika masih menjabat sebagai Kepala BPPN.

Selain itu, KPK juga mendalami alur proses penerbitan Surat Keterangan Lunas (SKL) kepada obligor BLBI. "Kami melihat itu dan membandingkan BPPN dalam kepemimpinan tersangka dan BPPN dalam kepemimpinan sebelumnya," ucap Febri.

KPK juga melakukan klarifikasi terhadap kebijakan Syafruddin yang mengeluarkan SKL bagi Sjamsul Nursalim selaku pemegang saham atau pengendali Bank Dagang Negara Indonesia (BDNI). Hal itu diduga dilakukan Syafruddin pada 2004 silam dengan nilai sebesar Rp 4,8 triliun.

"Karena diduga masih ada kewajiban obligor tapi SKL masih dikeluarkan. Itu kami klarifikasi," tutur Febri.  (Baca: Syafruddin Temenggung Jadi Tersangka Kasus BLBI Sjamsul Nursalim)

Hingga saat ini, KPK belum melakukan penahanan terhadap Syafruddin. KPK sebelumnya menetapkan Syafruddin sebagai tersangka pada 25 April 2017. "Kami masih fokus pada penguatan dokumen-dokumen yang sudah kita dapatkan sebelumnya. Termasuk hasil audit keuangan sebelumnya yang kami terima," ujar Febri.

Kerugian atas keuangan negara atas kasus yang menjerat Syafruddin sebelumnya diperkirakan senilai Rp 4,58 triliun dari total kewajiban penyerahan aset BDNI sebesar Rp 4,8 triliun. Hal tersebut didapatkan berdasarkan audit investigatif Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) tentang SKL BLBI tertanggal 25 Agustus 2017.

BPK menyimpulkan adanya indikasi penyimpangan SKL BLBI tetap diberikan walaupun belum menyelesaikan kewajiban secara keseluruhan. SKL diterbitkan berdasarkan Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 8 Tahun 2002 tentang pemberian jaminan kepastian hukum kepada debitor yang telah menyelesaikan kewajibannya atau tindakan hukum kepada debitor yang tidak menyelesaikan kewajibannya berdasarkan pemeriksaan Penyelesaian Kewajiban Pemegang Saham (PKPS).

(Baca: Jokowi Minta Bedakan Inpres Megawati Soal BLBI dengan Pelaksanaan)

Berdasarkan Inpres tersebut, debitur BLBI dianggap sudah menyelesaikan utang, meski baru melunasi 30% dari jumlah kewajiban pemegang saham dalam bentuk tunai dan 70% dibayar dengan sertifikat bukti hak kepada BPPN.

Syafruddin diduga mengusulkan pemberian Surat Pemenuhan Kewajiban Pemegang Saham atau SKL kepada Sjamsul Nursalim selaku pemegang saham atau pengendali Bank Dagang Negara Indonesia (BDNI) pada 2004 sebesar Rp 4,8 triliun.

Nilai tersebut berupa Rp 1,1 triliun ditagihkan ke petani tambak sedangkan Rp 3,7 triliun tidak dilakukan pembahasan dalam proses restrukturisasi. "Dari nilai Rp 1,1 triliun itu kemudian dilelang oleh PPA dan didapatkan Rp 220 miliar. Sisanya Rp 4,58 triliun menjadi kerugian negara," kata Febri.

Editor: Yuliawati

Cek juga data ini

Berita Katadata.co.id di WhatsApp Anda

Dapatkan akses cepat ke berita terkini dan data berharga dari WhatsApp Channel Katadata.co.id

Ikuti kami

Artikel Terkait

Video Pilihan
Loading...