Nielsen: Penjualan Turun Akibat Daya Beli Lemah, Bukan Tren Online

Yuliawati
Oleh Yuliawati - Asep Wijaya
3 November 2017, 15:02
Toko retail
ANTARA FOTO/R. Rekotomo
Ilustrasi gerai retail.

Tak cuma pedagang dan toko retail yang sedang terpukul saat ini. Produsen barang konsumsi atau kebutuhan konsumen (Fast Moving Consumer Goods / FMCG) juga menderita perlambatan pertumbuhan penjualan selama sembilan bulan pertama tahun ini. Hal tersebut semakin mempertegas indikasi melemahnya daya beli masyarakat, khususnya kelas menengah-bawah, ketimbang pengaruh tren penjualan secara elektronik (e-commerce).

Berdasarkan data lembaga survei Nielsen, penjualan barang konsumsi selama periode Januari-September 2017 hanya tumbuh 2,7%. Angka ini melanjutkan tren perlambatan penjualan FMCG yang tahun lalu tumbuh 7,7%, atau di bawah rata-rata pertumbuhan tahunan penjualannya sebesar 11% selama lebih 10 tahun ini.

Advertisement

Salah satu indikator yang mencolok adalah momen Hari Raya Idul Fitri, yang lazimnya menjadi masa panen penjualan barang-barang konsumsi. Namun, pada Lebaran tahun ini, pertumbuhan penjualannya hanya 5%, atau jauh di bawah pertumbuhan selama periode 2014-2016 yang secara berturut-turut sebesar 20,6%; 16,3%; 13,4%.

Fenomena lesunya penjualan barang konsumsi juga terlihat merata di seluruh daerah. Di DKI Jakarta, penjualan FMCG turun 2,3%. Begitu pula di Jawa Timur yang turun 0,1%. Sedangkan penjualan barang konsumsi di Jawa Barat dan Jawa Tengah masih naik tipis masing-masing 6,1% dan 1,7%. Padahal, empat provinsi di Pulau Jawa ini menguasai 68% total pasar penjualan barang konsumsi di seluruh Indonesia.

Pertumbuhan signifikan penjualan barang konsumsi hanya terjadi di tiga wilayah, yang sejalan dengan menggeliatnya bisnis di tiap wilayah tersebut. Pertama, di Sumatera Selatan tumbuh 8% karena merupakan daerah penghasil minyak kelapa sawit (CPO).

Kedua, di Kalimantan tumbuh 14,3% karena merupakan daerah penghasil batubara. Ketiga, di Bali dan Nusa Tenggara tumbuh 7,4% karena sektor pariwisata. (Baca: Debenhams Pergi, Pengelola Ubah Konsep Senayan City)

Nielsen menyimpulkan, perlambatan penjualan barang konsumsi itu tidak dipengaruhi oleh tren belanja secara online. Alasannya, penjualan FMCG melalui lapak e-commerce tahun lalu sebesar Rp 1,5 triliun atau 0,3% dari total nilai penjualan barang konsumsi.

Nilai tersebut tidak sebanding dengan penurunan penjualan FMCG yang mencapai Rp 37 triliun, berdasarkan selisih antara rata-rata pertumbuhan tahunan penjualan FMCG sebesar 11% atau senilai Rp 49 triliun sedangkan realisasi selama Januari-September 2017 hanya tumbuh 2,7% atau senilai Rp 12 triliun.

Daya beli masyarakat menengah ke bawah tertekan 

Nielsen menjelaskan penyebab penurunan konsumsi barang rumah tangga karena pelemahan daya beli  pada masyarakat menengah ke bawah. Pelemahan daya beli disebabkan turunnya take home pay dan sebaliknya biaya kebutuhan hidup meningkat.

Penghasilan masyarakat turun karena tak ada kenaikan gaji atau kenaikan yang tak signifikan, juga berkurangnya tambahan pemasukan dari lembur, ketiadaan komisi atau sumber lainnya. Sementara biaya hidup dan pengeluaran meningkat seperti tarif listrik, biaya makanan, dan belanja sekolah.

Masyarakat pun berhemat dengan mengerem belanja yang membuat konsumsi mi intan turun 2,7% dan kopi instan turun 1,5%. Sebaliknya, masyarakat memilih membawa bekal makanan dan membuat snack sendiri yang terlihat dari peningkatan belanja tepung terigu 28,1%, minyak goreng (13,4%) dan susu cair (13,8%). Mereka juga memilih produk dalam kemasan kecil (sachet) untuk mengontrol penggunaannya.

Pengamat Faisal Basri dalam tulisan Transformasi Struktural dan Daya Beli juga memaparkan terjadi penurunan daya beli pada kelompok 40% termiskin. Nilai tukar petani sejak November 2014 hingga Agustus 2017 turun dari 102,87 menjadi 101,60. Khusus untuk NTP pangan penurunannya lebih tajam, dari 102,0 menjadi 98,3. Dia menggaris bawahi, NTP di bawah 100 perlu diwaspadai.

Sementara itu upah riil buruh tani juga merosot 2,49% selama kurun waktu November 2014 hingga Agustus 2017. Pada kurun waktu yang sama, upah riil buruh bangunan di perkotaan pun mengalami penurunan sebesar 2,12%. 

Di samping itu, Faisal mengatakan ada beberapa indikasi penurunan daya beli telah merembet ke kelompok 40% berpendapatan menengah, khususnya menengah-bawah dan menengah-tengah. Dia antaranya akibat pencabutan subsidi listrik untuk pelanggar 900 VA. Jumlah mereka sekitar 19 juta.

Halaman:
Reporter: Asep Wijaya
Berita Katadata.co.id di WhatsApp Anda

Dapatkan akses cepat ke berita terkini dan data berharga dari WhatsApp Channel Katadata.co.id

Ikuti kami

Artikel Terkait

Video Pilihan
Loading...
Advertisement