Perbankan Dinilai Berisiko Danai Produsen Sawit Tak Berkelanjutan

Dimas Jarot Bayu
12 Desember 2017, 16:19
Kelapa sawit
Arief Kamaludin|KATADATA
Petani memanen buah kelapa sawit di salah satu perkebunan kelapa sawit di Desa Delima Jaya, Kecamatan Kerinci, Kabupaten Siak, Riau.

Lembaga keuangan di Indonesia dinilai menghadapi risiko besar jika memberikan pendanaan terhadap produsen minyak sawit yang tidak berkelanjutan. Laporan Roundtable on Sustainable Palm Oil (RSPO) dan Landscape Indonesia, menyebutkan produsen minyak sawit yang tidak berkelanjutan akan berisiko merugi dari aktivitas yang dilakukan.

CEO Landscape Indonesia dan Senior Associate di World Agroforestry Centre (ICRAF) Agus Sari mengatakan, produsen sawit yang tidak berkelanjutan dapat mengakibatkan risiko deforestasi, meningkatnya gas rumah kaca, dan berkurangnya biodiversitas lebih besar.

Selain itu, Agus menilai produsen sawit yang tidak berkelanjutan juga memiliki risiko konflik dengan masyarakat, terpinggirkannya masyarakat asli, maupun pelanggaran hak asasi manusia para pekerjanya. Ada pula risiko korupsi dan penghindaran pajak ketika produsen sawit tidak berkelanjutan.

"Sebagai contoh setelah kerusakan hebat yang disebabkan kebakaran hutan tahun 2015, pemerintah Indonesia mengeluarkan kebijakan yang melarang pengembangan lahan gambut dan membatasi perluasan perkebunan sawit," kata Agus di Jakarta, Selasa (12/12).

(Baca: RSPO Beri Bantuan Rp 33 Miliar untuk Sertifikasi Sawit Global)

Menurut Agus, risiko ini kemudian akan berimbas kepada lembaga keuangan. Pasalnya, pemerintah Indonesia semakin mengetatkan regulasi guna mendorong pemeliharaan lingkungan yang berkelanjutan.

"Sebagai contoh setelah kerusakan hebat yang disebabkan kebakaran hutan tahun 2015, pemerintah Indonesia mengeluarkan kebijakan yang melarang pengembangan lahan gambut dan membatasi perluasan perkebunan sawit," kata Agus di Jakarta.

Agus juga mengatakan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) pada bulan Juli 2017 telah menerbitkan aturan yang mewajibkan bank membuat laporan keberlanjutan dan memiliki rencana aksi keuangan yang berkelanjutan. Peraturan OJK Nomor 51/POJK.03/2017 itu menyebutkan adanya penalti atas ketidakpatuhan yang didasarkan pada visi OJK tahun 2014 bahwa sektor keuangan perlu mendorong pembangunan berkelanjutan di Indonesia.

"Kalau mendanai, banknya bisa dituntut karena dianggap mendukung perusahaan perusak lingkungan," kata Agus.

Keterlibatan lembaga keuangan pada masalah keberlanjutan di sektor kelapa sawit juga menciptakan risiko reputasi dan pendanaan yang besar. Agus menilai, reputasi bank yang mendanai produsen sawit berkelanjutan akan terus dikaitkan dengan masalah deforestasi, pembukaan lahan gambut, konflik masyarakat, korupsi, dan penghindaran pajak.

"Baik di antara nasabah ritel domestik maupun investor asing," kata Agus.  (Baca juga: Sertifikasi Kebun Sawit Indonesia Masih Harus Digenjot)

Agus mengatakan, konsumen Indonesia mulai menaruh lebih banyak perhatian pada isu keberlanjutan dalam keputusan konsumsi mereka. Dalam survei konsumen yang diminta RSPO, hampir 8 juta konsumen di Indonesia siap mendukung dan beralih ke produk kelapa sawit yang berkelanjutan.

Halaman:
Editor: Yuliawati
Berita Katadata.co.id di WhatsApp Anda

Dapatkan akses cepat ke berita terkini dan data berharga dari WhatsApp Channel Katadata.co.id

Ikuti kami

Artikel Terkait

Video Pilihan
Loading...