Bank Dunia: Pilkada dan Harga Minyak Bayangi Ekonomi RI 2018
Bank Dunia menyebut pertumbuhan ekonomi Indonesia berpeluang mencapai 5,3% di 2018, lebih tinggi dibandingkan tahun ini yang kemungkinan hanya mencapai 5,1%. Namun, terdapat delapan risiko dari domestik dan global yang harus diwaspadai lantaran bisa menjegal laju ekonomi.
Ekonom Utama Bank Dunia untuk Indonesia Frederico Gil Sander mengatakan, risiko pertama yang perlu diwaspadai pemerintah adalah konflik saat pemilihan kepala daerah (Pilkada) serentak. Ia mengingatkan, konflik saat Pilkada seperti terjadi saat Pilkada DKI Jakarta tahun ini, turut menahan konsumsi rumah tangga.
"Pada lebaran tahun ini (pertumbuhan konsumsi rumah tangga) lebih rendah dibandingkan tahun-tahun sebelumnya. Salah satunya, karena ada ketidakpastian politik terutama karena Pilkada di DKI Jakarta," kata Frederico saat peluncuran Indonesia Economic Quarterly (IEQ) di Energy Building, Jakarta, Kamis (14/12).
(Baca juga: Jokowi: Ekonomi di Tahun Politik Bisa Tumbuh Lebih Tinggi 0,3%)
Kedua, yaitu risiko berupa hilangnya momentum reformasi struktural. Ia mengakui, pemerintah sudah melakukan banyak hal untuk melakukan reformasi struktural. Namun implementasinya kurang maksimal. Persoalan implementasi inilah yang harus diatasi pemerintah.
Ketiga, risiko berupa penerimaan pajak yang rendah. Padahal, Pemerintah harus mengumpulkan pendapatan yang cukup besar guna menjalankan komitmennya untuk membangun infrastruktur. (Baca juga: Rencana Jokowi Bagikan Rp 1,4 Miliar Tiap Desa Ditunda Hingga 2019)
Keempat, kenaikan harga minyak dunia yang bisa berimbas pada naiknya harga energi di dalam negeri. Ia mengingatkan kenaikan harga energi bisa menekan daya beli. "Seperti kenaikan TDL (Tarif Dasar Listrik) beberapa waktu lalu, meski tidak besar tetapi naiknya substansial. Ini berpengaruh ke daya beli," ucapnya. (Baca juga: Paket Dana Tunai buat Pekerja Desa Dipercepat untuk Kerek Daya Beli)
Selain itu, ia juga menyebut empat risiko lainnya, yang semuanya berasal dari global yaitu pertama, pengetatan kebijakan moneter di beberapa negara maju. Bank sentral Amerika Serikat (AS) misalnya, baru saja menaikkan bunga dananya. Kondisi tersebut memicu dana asing berbalik ke Negeri Paman Sam.
Kedua, ekonomi Tiongkok yang masih berpeluang tertekan. Padahal ekonomi Tiongkok sangat memengaruhi ekonomi Indonesia, mengingat Negeri Tirai Bambu tersebut adalah mitra dagang terbesar Indonesia.
Ketiga, kenaikan harga komoditas yang belum bisa dipastikan terus berlanjut. Melemahnya ekonomi Tiongkok, misalnya bisa membuat permintaan komoditas turun sehingga harganya juga turun. Terakhir, yang juga perlu diwaspadai yaitu risiko geopolitik, misalnya, di semenanjung Korea dan Spanyol.