Investor Listrik Beberkan Penghambat Proses Pemenuhan Pembiayaan
Produsen listrik swasta (Independent Power Producer/IPP) akhirnya angkat suara mengenai penyebab belum dilakukannya pemenuhan pembiayaan (financial close) untuk proyek energi baru terbarukan. Hingga kini ada sekitar 55 IPP yang belum melakukan financial close.
Ketua Umum Asosiasi Pembangkit Listrik Tenaga Mikro Hidro (APLTMH), Riza Husni mengatakan salah satu penyebab pemenuhan pembiayaan itu belum dilakukan karena ada klausul dalam kontrak yang bisa menghambat proyek. Klausul itu adalah mengenai mata uang yang tertera dalam kontrak jual beli listrik (Power Purchase Agreement/PPA).
Dalam kontrak itu, mata uang yang digunakan untuk pengembang lokal adalah rupiah. Sementara kontrak pengembang asing bisa menggunakan mata uang dolar Amerika Serikat. Akibatnya, para pengembang lokal kesulitan mencari pendanaan karena bunganya sangat tinggi.
Menurut Riza, ketika kontrak menggunakan mata uang rupiah, bank akan menetapkan bunga pinjaman sebesar 11%. Jika menggunakan mata uang dolar Amerika Serikat, bunga pinjaman itu bisa lebih rendah yakni 6%.
Untuk itu, Riza meminta Kementerian ESDM memberikan opsi agar menggunakan mata uang dolar Amerika Serikat dalam kontrak, meskipun pembayarannya menggunakan rupiah sesuai keharusan surat Gubernur Bank Indonesia. “Kami tidak minta dilebihkan dari kebiasaan PLN terhadap asing, tapi jangan musuhi pengembang dalam negeri,” kata dia kepada Katadata.co.id, Kamis (11/1).
Hambatan lainnya, ada Peraturan Menteri ESDM Nomor 50 tahun 2017 yang dinilai bisa menghambat investasi. Aturan ini bisa menghambat investasi karena ada skema penyerahan aset ketika kontrak berakhir (build, own, operate, and transfer/BOOT).
Klausul itu bisa merugikan produsen listrik swasta karena aset tersebut tidak menjadi miliknya. Padahal, tanah untuk membangun pembangkit berasal dari perusahaan, tarif tidak ada subsidi, harus bayar pajak dan untuk meminjam bank agar proyek bisa berjalan pun harus menggunakan bunga komersial.
Dengan tidak memiliki aset itu, pengembang juga kesulitan mencari pinjaman. Ini karena tidak ada jaminan yang bisa diberikan. Aset yang dimiliki atau dibangun sebelumnya terhitung menjadi aset PT Perusahaan Listrik Negara (Persero)/PLN.
Riza juga menolak pandangan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Ignasius Jonan yang menilai skema BOOT itu berdasarkan keputusan Mahkamah Konstitusi, terkait praktik unbundling (pemisahan bagian). “Dikuasai negara itu tidak identik dengan dimiliki negara,” ujar dia.
Faktor lainnya yang bisa menghambat proses pemenuhan pembiayaan adalah mengenai ketidakadilan dalam penentuan tarif. Ini akibat digantikannya pola fit menjadi negosiasi. Jadi skema negosiasi dalam penentuan tarif ini bisa menciptakan ketidakadilan dan kolusi.
Negosiasi itu bisa menciptakan kolusi karena tidak ada standar atau patokan yang baku dalam menentukan harga dan tidak ada batas minimum. “Tidak adanya batasan tarif minimum akan memberikan ketidakpastian yang pada gilirannya akan menghilangkan minat investasi bagi investor yang tidak memiliki ‘koneksi baik kepada pemerintah’,” ujar Riza.
Adapun, menurut Riza, IPP yang sudah melakukan pemenuhan pembiayaan itu kontraktor yang tanda tangan PPA sebelum Permen ESDM Nomor 50 tahun 2017 terbit. Selain itu ada Badan Usaha Milik Negara (BUMN).
(Baca: Investasi di Sektor Energi Baru Terbarukan Makin Diminati)
Sebelumnya, Direktur Jenderal Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi Kementerian ESDM Rida Mulyana mengatakan dari 68 PPA yang ditandatangani ada 55 yang belum financial close. “Nanti kami panggil mereka apa kesulitannya," kata dia di Kementerian ESDM, Jakarta, Rabu (10/1).