In Memoriam: Mengenang Daoed Joesoef, “Dia dan Aku”

Metta Dharmasaputra
28 Januari 2018, 16:53
Daoed Joesoef
Ilustrator: Betaria Sarulina

“Akhirnya aku berikrar pada diriku sendiri untuk ‘melupakan saja’ aspek praktis dari ilmu ekonomi yang selama ini aku tekuni. Ini guna mencegah aku berbisnis selama dan sesudah menjadi menteri.”

Kata-kata dalam buku “Dia dan Aku” yang ditulis Dr. Daoed Joesoef itu begitu menyentak. Meski sudah berumur empat dasawarsa, ikrar itu masih terasa sangat menggedor, di saat korupsi masih menjalar hebat di negeri ini.

Kata-kata itu pula yang kembali terngiang di telingaku, ketika tersiar kabar bahwa Daoed Joesoef telah berpulang di usianya yang ke 91 tahun. Mantan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (1978-1983) ini menghembuskan napas terakhir pada Selasa (23/1) malam pekan lalu, pukul 23.55 WIB, karena penyakit jantung yang telah lama dideritanya.

Pertama kali kudengar kata-kata itu di suatu pagi dalam sebuah percakapan dengannya, 12 tahun silam, di rumahnya yang sederhana namun asri di Jalan Bangka, Mampang, Jakarta Selatan.“Ini akan saya tuliskan di buku,” katanya saat itu.

Buku yang dia maksud tak lain adalah “Dia dan Aku” setebal kurang-lebih seribu halaman yang kemudian terbit pada akhir 2016. Di dalamnya berisi pengalaman pribadi Pak Daoed (Aku) bersama sejumlah tokoh (Dia), termasuk Presiden Soeharto.

Ini tentu bukan pekerjaan ringan baginya yang saat itu sudah berusia 79 tahun dan telah menderita penyakit jantung. Apalagi, dia mengerjakannya dengan sebuah mesin tik tua, yang harus minim error. “Suara ketikan itu selalu punya irama,” ujarnya menjelaskan kenapa dia tak beralih ke komputer.

Bisa dibayangkan betapa kuat daya ingat dan sistematika berpikirnya. Dan untuk merampungkan “kerja besarnya” itu, Pak Daoed sangat berdisiplin mengatur jadwal kesehariannya. Setiap pagi, selepas subuh, waktunya dia dedikasikan hanya untuk menulis.

Karena itu, ketika aku meminta waktu bertemu dengannya, dia mewanti-wanti untuk datang tepat waktu: pukul 07.00. Tak boleh datang kepagian, apalagi terlambat. Dari sini saja kita bisa meraba betapa Pak Daoed seorang yang sangat disiplin dalam berpikir dan bertindak.

Tak mengherankan—meski tetap saja mengagetkan—dia punya ikrar sekuat itu untuk “melepas” ilmu ekonomi saat menerima tawaran menjadi seorang menteri. Keputusan yang diakuinya bukanlah pilihan mudah.

Sebab, ilmu ekonomi sebelumnya digunakannya untuk mencari tambahan pendapatan, berhubung gaji dari mengajar tak seberapa. Meski begitu, langkah itu tetap dilakukannya demi menjaga kehormatan jabatan menteri.

Daoed Joesoef
Istimewa (Dian Ariffahmi)

“Kalau seseorang dibenarkan berbisnis sambil memegang jabatan politik, hukum bisa saja dimanipulasi,” katanya. “Penggabungan bisnis dan politik di satu tangan, yang bisa segera berubah menjadi suatu persekongkolan, telah terbukti di mana pun menjadi sumber utama korupsi.”

Pengagum Bung Hatta ini mencontoh apa yang sudah dilakukan Robert McNamara. Begitu diangkat menjadi Menteri Pertahanan oleh Presiden John F. Kennedy, ia melepaskan kedudukannya sebagai Presiden Direktur General Motor dan menjual semua saham bisnis yang dimilikinya.

Daoed Joesoef adalah Doktor ekonomi pertama Indonesia lulusan Universite Pluridisciplinaires de Paris I-Pantheon-Sorbonne (1964-1972) yang bergengsi. Doktor ekonomi top lulusan Sorbonne lainnya adalah Darmin Nasution, yang kini menjabat Menteri Koordinator Perekonomian.

Ikrar itu terbukti dia pegang teguh hingga akhir hayatnya. Bidang intelektual dan dunia pemikiran menjadi sumber nafkahnya selepas dia tak lagi menjadi menteri, yang disebutnya sebagai pekerjaan planetary idea-farmer.

Dengan cara itu, menteri menjadi jabatan terhormat sebelum dan sesudah dia memangkunya, “Aku berusaha tidak menodai kehormatan itu, sesudah aku melepaskannya.”

Rumah Tua dan Lukisan Diponegoro

Hidup sederhana memang menjadi “jalan pedang” yang dipilih Pak Daoed. Di dalam bukunya itu, dia juga menjelaskan sudah bersepakat dengan istrinya Sri Soelastri (Lektor Kepala dalam hukum adat di Fakultas Hukum UI) untuk menjaga jarak sejauh mungkin dari keglamoran hidup elite pemerintahan jika masuk kabinet.

Mereka pun memutuskan tetap tinggal di rumah pribadinya—tempat yang ditinggalinya hingga akhir hayatnya—dan tidak bersedia pindah ke kompleks perumahan menteri, kalaupun ada tawaran untuk itu.

Diceritakannya, tanah itu dibelinya berangsur-angsur sejak 1958 hingga 1963 sebelum dia berangkat ke Paris, dan baru dibangun sekembalinya dari Negeri Napoleon itu. Menjelang pulang ke Tanah Air (1970), dibelinya pula sebuah mobil Fiat di sana. “Jadi, aku sudah punya tanah, rumah, dan kendaraan sebelum menjadi menteri. Bukan sesudahnya.”

Kawasan itu kini memang telah berubah menjadi kompleks elite yang bernilai tinggi. Tapi diceritakannya pula kepadaku bahwa ketika dibelinya dulu, tanah ini masih sepi dan asri.

Mimpinya memang punya rumah yang jauh dari kebisingan kota dan dekat aliran sungai. Karena itu, dia jengkel betul melihat pertumbuhan pesat pohon gedung-gedung tinggi di sana, yang mengurung rumahnya, menutupi cakrawala biru dan membuat kawasan itu tak luput dari banjir.

Untuk orang dengan nama “sebesar” Daoed Joesoef, rumah itu memang terbilang sederhana. Hanya diisi oleh perabotan dan furnitur kayu tua dan antik. Pekarangannya yang luas ditanami oleh berbagai tanaman bunga dan pohon, lengkap dengan papan nama latin pepohonan itu, yang menjadikannya seperti Kebun Raya kecil.

Halaman:
Editor: Yura Syahrul
Berita Katadata.co.id di WhatsApp Anda

Dapatkan akses cepat ke berita terkini dan data berharga dari WhatsApp Channel Katadata.co.id

Ikuti kami

Artikel Terkait

Video Pilihan
Loading...