Bahas Kepodang dengan Petronas, Pemerintah Belum Setuju Opsi Ganti LNG
Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral/ESDM mulai memanggil Petroliam Nasional Berhad/Petronas terkait kondisi kahar di Lapangan Kepodang, Blok Muriah. Pembahasan ini untuk mencari solusi atas peristiwa tersebut.
Wakil Menteri ESDM Arcandra Tahar mengatakan dalam pertemuan tersebut ada beberapa solusi yang ditawarkan. “Ada banyak pilihan solusi. Salah satunya adalah gas alam cair (Liquefied Natural Gas/LNG),” kata dia di Jakarta, Kamis (15/2).
Menurut Arcandra, LNG ini menjadi opsi untuk memasok pembangkit listrik di Tambak Lorok. Jadi, gas untuk pembangkit milik PT Perusahaan Listrik Negara/PLN (Persero) ini tidak lagi melalui pipa. Namun bisa dari gas mana saja yang sudah berbentuk LNG.
Namun, jika memilih opsi tersebut, harus ada fasilitas penampungan dan regasifikasi (FSRU). FSRU ini akan mengubah LNG yang berbentuk cair ke gas untuk bisa digunakan di pembangkit.
Sayangnya, tawaran solusi dari Petronas itu belum mendapatkan lampu hijau dari Kementerian ESDM. Ini karena ada opsi lain yang sampai saat ini belum mau disampaikan Arcandra. Baru usul aja. Belum disetujui,” ujar dia.
Solusi yang akan diambil pemerintah nantinya harus yang terbaik semua pihak. Apalagi kondisi kahar ini, tidak hanya merugikan PT Kalimantan Jawa Gas/KJG sebagai pemilik pipa, tapi Petronas yang menjadi pengelola lapangan tersebut, serta PLN.
Kerugian PGN yang merupakan pemilik saham 80% KJG juga sempat dibahas dalam pertemuan tersebut. “Itu juga dibahas,” ujar Arcandra.
Seperti diketahui, PT Perusahaan Gas Negara/PGN (Persero) Tbk mengancam akan membawa Petronas ke arbitrase. Hal ini akan dilakukan perusahaan asal Malaysia itu tidak kunjung melunasi utangnya akibat tak sesuainya jumlah pasokan gas dari Lapangan Kepodang, Blok Muriah.
(Baca: PGN Ancam Gugat Arbitrase Petronas Atas Tunggakan Utang Rp 460 Miliar)
Direktur Infrastruktur Gas PGN Dilo Seno mengatakan sejak tahun 2015 hingga 2017, Petronas belum membayar utang sebesar US$ 32,2miliar atau Rp 460 miliar. Utang ini diperoleh karena gas yang disalurkan lewat pipa PT Kalimantan Jawa Gas -yang 80% sahamnya dimiliki PGN- di bawah kuota yang disepakati.