Mengukur Peluang Kalla Jadi Cawapres di Pemilu 2019

Dimas Jarot Bayu
27 Februari 2018, 15:03
Jusuf Kalla
Arief Kamaludin|KATADATA
Wakil Presiden Jusuf Kalla.

Jusuf Kalla kembali digadang-gadang sebagai calon wakil presiden (cawapres) mendampingi Joko Widodo dalam pemilihan presiden 2019. Wacana pencalonan Kalla mencuat usai Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) menggelar Rapat Kerja Nasional di Bali pada 23 Februari hingga 25 Februari 2018.

Pengusungan ini menuai pro dan kontra karena Kalla sudah dua kali menjabat sebagai wakil presiden. Kalla pertama kali menjadi wakil presiden berpasangan dengan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) pada 2004-2009 dan kemudian mendampingi Jokowi pada 2014-2019.

Kalla dianggap tak lagi dapat diusung sebagai cawapres karena berbenturan dengan Pasal 7 UUD 1945 yang membatasi presiden dan wapres hanya dua periode. Namun Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo menganggap Pasal 7 UUD 1945 sebagai multitafsir. Tjahjo menilai pasal tersebut multitafsir karena tidak dijelaskan perihal seseorang yang pernah menjabat dua kali, apakah berturut-turut atau tidak, diperbolehkan maju kembali di jabatan yang sama.

Pakar hukum tata negara Refly Harun menilai Pasal 7 dalam UUD 1945 sebagai norma umum sudah sangat jelas membatasi masa jabatan wakil presiden selama dua periode. Pasal 7 UUD 1945 berbunyi bahwa presiden dan wakil presiden memegang jabatan selama lima tahun, dan sesudahnya dapat dipilih kembali dalam jabatan yang sama, hanya untuk satu kali masa jabatan.

"Konstitusi itu sudah jelas menganut yang namanya pembatasan masa jabatan presiden dan wapres dua periode saja," kata Refly ketika dihubungi Katadata.co.id, Selasa (27/2).

(Baca juga: JK Tolak Usulan Jadi Cawapres, Golkar Bebaskan Jokowi Cari Pendamping)

Refly mengatakan, selama seseorang telah menjabat selama dua periode, pasal tersebut melarangnya untuk kembali menempati posisi sebagai presiden atau wakil presiden.

Menurut Refly, aturan yang lebih rinci terkait pembatasan masa jabatan ini diatur dalam Pasal 169 huruf n UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu. Dalam pasal tersebut dijelaskan bahwa persyaratan menjadi calon presiden dan calon wakil presiden adalah belum pernah menjabat sebagai presiden atau wakil presiden, selama dua kali masa jabatan dalam jabatan yang sama.

Lebih lanjut, dalam penjelasan pasal tersebut dijelaskan bahwa yang dimaksud dengan 'belum pernah menjabat dua kali masa jabatan dalam jabatan yang sama' adalah yang bersangkutan belum pernah menjabat dalam jabatan yang sama selama dua kali masa jabatan, baik berturut-turut maupun tidak berturut-turut, walaupun masa jabatan tersebut kurang dari lima tahun.

"Penjelasannya sudah jelas berturut-turut atau tidak berturut-turut (masa jabatan dibatasi dua periode)," kata Refly.

Pendiri Pusat Studi Hukum dan Kebijakan (PSHK) Bivitri Susanti pun menilai tak ada multitafsir dalam membaca aturan mengenai masa jabatan presiden dan wakil presiden. Bivitri mengatakan, petahana yang pernah menjabat berturut-turut maupun tidak selama dua periode tak bisa kembali mencalonkan diri.

"Penjelasannya sudah jelas, tidak butuh interpretasi lagi bahwa yang dimaksud dengan dua kali itu tidak harus berturut-turut, bahkan kalau masa jabatannya tidak sampai lima tahun," kata Bivitri dihubungi Katadata.co.id.

(Baca juga: Megawati Pakai Hak Prerogatif, Jokowi Resmi Diusung PDIP Jadi Capres)

Terkait adanya rencana permintaan fatwa Mahkamah Konstitusi oleh Tjahjo, Bivitri menilai hal tersebut sebenarnya tak diperlukan. Sebab, fatwa tersebut hanya diperlukan jika memang pasal yang dipersoalkan mengandung multiinterpretasi.

"Tapi kalau membaca penjelasannya itu sudah 100% tak bisa ditafsirkan berbeda," kata Bivitri.

Menurut Bivitri, satu-satunya langkah agar Kalla dapat didorong maju kembali sebagai cawapres dengan mengajukan uji materi (judicial review/JR) ke Mahkamah Konstitusi (MK). Hanya saja, Bivitri mengingatkan penting bagi penggugat untuk mencari landasan yang jelas bahwa pasal yang digugat inkonstitusional.

"Kalau mau ditempuh pun waktunya tak sebentar. Padahal kita tahu pendaftaran calon presiden dan calon wakil presiden itu Agustus 2018," kata Bivitri.

Pakar hukum tata negara dari Universitas Parahyangan, Asep Warlan Yusuf memberikan pendapat berbeda. Menurut Asep, secara gramatikal Pasal 7 UUD 1945 membolehkan JK untuk mencalonkan diri sebagai cawapres pada Pilpres 2019.

Alasannya, pasal tersebut dapat ditafsirkan bahwa seseorang tidak boleh menjabat jika telah dua periode menjabat tanpa terselang. "Jadi cuma dua periode itu berturut-turut. Kalau diselang yang lain, dia ke normal lagi," kata Asep.

Namun demikian, secara teleologis pasal tersebut dimaksudkan agar menghindari kekuasaan yang bertumpu pada satu orang. Pasal tersebut diamandemen juga untuk dapat memberikan kesempatan bagi calon pemimpin lainnya.

"Tafsir dari tujuannya, pokoknya mau berturut-turut atau tidak berturut-turut tidak lebih dari dua kali. Bisa juga begitu diartikannya," kata Asep dihubungi Katadata.co.id.

Meski secara grammatikal JK memungkinkan untuk mencalonkan diri kembali, Asep beranggapan jika hal itu lebih baik tak dilakukan. Asep menilai, faktor usia JK perlu dipertimbangkan ketika ia akan bertanding kembali dalam kontestasi politik.

"Kalau saya kecenderungan mengganti yang lain, kan masih banyak tokoh lain yang punya kaliber sekuat pak JK dari segi partai maupun non-partai. Pak JK cukuplah, faktor usia tidak bisa disembunyikan," kata dia.

(Baca juga: Usai Dapat Nomor Urut, Parpol Ajukan Capres-Cawapres Enam Bulan Lagi)

Adapun, Asep menilai pengganti JK nantinya perlu dipertimbangkan kapasitas dan integritasnya. Selain itu, dia menilai pengganti JK harus memiliki wawasan global untuk bisa berjejaring secara internasional.

"Kemudian harus punya keberpihakan kepada rakyat. Itu yang harus dicari," kata Asep.

Jusuf Kalla sendiri telah menyatakan keengganannya diusung kembali menjadi cawapres. Dia tidak ingin mengulang kekuasaan Soeharto di masa Orde Baru yang tanpa batas.  "Pada saat itu, Pak Harto tanpa batas, jadi menghargai filosofi (dalam aturan) itu," kata Kalla.

Kalla menyatakan masih ingin mengabdi kepada bangsa. Namun, dia menilai pengabdian itu tak melulu harus dilakukan dengan menjabat sebagai wakil presiden."Pengabdian itu tidak terbatas di pemerintahan," kata dia.

Menanggapi adanya pro dan kontra terhadap tafsiran pembatasan masa jabatan calon presiden dan calon wakil presiden, Komisioner KPU Viryan menilai nantinya pemaknaan yang lebih detil akan dituangkan dalam Peraturan KPU. Rencananya, draf aturan KPU mengenai calon presiden dan calon wakil presiden itu akan selesai bulan depan.

"Kami masih pembahasan internal. Nanti kami akan lakukan uji publik serta Rapat Dengar Pendapat dengan Komisi II DPR dan pemerintah," kata Viryan.

Editor: Yuliawati
Berita Katadata.co.id di WhatsApp Anda

Dapatkan akses cepat ke berita terkini dan data berharga dari WhatsApp Channel Katadata.co.id

Ikuti kami

Artikel Terkait

Video Pilihan
Loading...