Atasi Pamor Golkar yang Stagnan, Airlangga Diusulkan Jadi Cawapres

Dimas Jarot Bayu
23 Maret 2018, 15:00
Airlangga Hartarto
ANTARA FOTO/Puspa Perwitasari
Ketua Umum Golkar yang merangkap Menteri Perindustrian Airlangga Hartarto.

Setelah beberapa bulan Partai Golkar memiliki Ketua Umum yang baru, Airlangga Hartarto, elektabilitas partai berlambang pohon beringin tersebut cenderung stagnan. Elektabilitas Golkar diperkirakan tak akan naik signifikan saat pemilihan umum 2019, kecuali Airlangga menjadi calon wakil presiden mendampingi Joko Widodo dalam Pilpres 2019. 

Hasil survei Charta Politika pada Januari 2018 memperlihatkan bahwa elektabilitas Golkar masih sebesar 12,5%. Pada bulan yang sama, Indo Barometer pun merilis bahwa elektabilitas Golkar baru sebesar 8,6%. Adapun, survei paling anyar yang dilakukan Populi Center pada Februari 2018 menunjukkan elektabilitas Golkar sebesar 10,7%.

"Sebetulnya suara Golkar kalau mau disimpulkan stagnan, tidak ada kecenderungan yang menjelaskan bahwa partai ini misalnya turun drastis karena suatu isu atau kemudian naik drastis setelah Munaslub," kata Direktur Eksekutif Charta Politika Yunarto Wijaya di Hotel Sultan, Jakarta, Jumat (23/3).

Padahal ketika Airlangga yang terpilih dalam Musyawarah Nasional Luar Biasa (Munaslub) menggantikan Setya Novanto pada Desember 2017 lalu, elite Golkar memprediksi suara bakal meningkat drastis dengan target meraih 18% suara elektoral dalam Pemilu 2019.

(Baca juga: Airlangga Jadi Ketum, Suara Golkar Bertambah dari Pendukung PDIP)

Menurut Yunarto, suara Golkar tidak naik secara signifikan karena partai tersebut tak memiliki figur yang mampu mendongkrak elektoral. Padahal, lanjutnya, perkembangan dunia politik di Indonesia akhir-akhir ini justru mengedepankan aspek figur.

"Yudhoyono dengan Demokrat, Gerindra dengan Prabowo Subianto, Joko Widodo sebagai magnet elektoral baru di PDIP. Golkar tidak pernah punya itu," kata Yunarto.

Airlangga disebutnya tak menjadi magnet elektoral karena tak diposisikan sebagai calon presiden atau calon wakil presiden. Ini berbeda dengan beberapa partai lainnya seperti Demokrat, PDIP, maupun Gerindra.

Hal ini membuat Golkar kehilangan efek ekor jas (coat tail effect) yang biasanya mengasosiasikan seorang figur yang maju dalam pemilu dengan partai pengusung utamanya. "Ketika hanya jadi pengekor, kecenderungan partai tersebut menjadi besar dalam Pilpres atau Pileg akan sulit tercapai," kata dia.

Direktur Eksekutif Indo Barometer Muhammad Qodari menambahkan, pemberian dukungan Golkar dengan Jokowi akan sulit memberikan limpahan suara yang besar. Alasannya, Jokowi saat ini sudah lekat diasosiasikan dengan PDIP.

Selain itu, Golkar juga harus bertarung dengan beberapa partai pengusung Jokowi lainnya seperti Nasdem, PPP, Hanura, dan Perindo. "Ketika semua asosiasi dengan Jokowi, saya khawatir agak sulit Golkar melengketkan diri dengan Jokowi," kata dia.

Karenanya, Qodari menilai Golkar hanya akan berkompetisi dengan Gerindra untuk menempati posisi kedua dalam perolehan elektabilitas. Saat ini, elektabilitas Golkar dan Gerindra hanya terpaut tipis.

(Baca: Resmi Ketua Umum, Airlangga Targetkan Elektabilitas Golkar 16%)

Halaman:
Editor: Yuliawati
Berita Katadata.co.id di WhatsApp Anda

Dapatkan akses cepat ke berita terkini dan data berharga dari WhatsApp Channel Katadata.co.id

Ikuti kami

Artikel Terkait

Video Pilihan
Loading...