Industri Makanan dan Minuman Tolak Usulan Bea Masuk Bahan Baku Plastik

Dimas Jarot Bayu
19 April 2018, 14:16
Minuman
ANTARA FOTO/Rony Muharrman
Pekerja menyusun aneka jenis minuman kaleng di salah satu grosir penjual makanan dan minuman kemasan di Pekanbaru, Riau, Senin (12/6).

Komite Anti Dumping Indonesia (KADI) mengusulkan penerapan Bea Masuk Anti-Dumping (BMAD) terhadap impor bahan baku kemasan plastik atau Polyethylene Terephthalate (PET) sebesar 5-26%. Usulan ini mendapat penolakan dari industri makanan dan minuman karena dikhawatirkan akan dapat mempengaruhi harga dan permintaan.

"Usulan Komite Anti Dumping Indonesia (KADI) untuk mengenakan pajak antara 5-26% terhadap bahan baku plastik kemasan selama lima tahun akan berdampak secara langsung terhadap industri yang pada akhirnya akan melakukan langkah efisiensi," kata juru bicara Forum Lintas Asosiasi Industri Makanan dan Minuman (FLAIMM) Rachmat Hidayat di Jakarta, Kamis (19/4).

Rachmat memperkirakan pengenaan BMAD dapat menaikkan harga jual produk makanan dan minuman, dengan perhitungan setiap peningkatan 1% harga jual akan menurunkan permintaan sebesar 1,23%.

(Baca juga: Harga Plastik Naik, Industri Makanan dan Minuman Bakal Tertekan)

Menurut Rachmat, hal tersebut karena penggunaan kemasan berkontribusi dalam struktur biaya sekitar 20-70%. Adapun, hingga saat ini industri makanan dan minuman masih harus mengimpor bahan baku kemasan sekitar 60 ribu dari total kebutuhan 200 ribu ton per tahun.

"Industri makanan dan minuman menggunakan ini (PET) sebagai packaging," kata Rachmat.

Direktur Riset Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia Piter Abdullah mengatakan, pengenaan BMAD sebesar 10% diperkirakan akan mengakibatkan penurunan permintaan untuk industri makanan dan minuman skala besar hingga 0,7-0,8%. Adapun, industri skala kecil dan menengah diperkirakan mengalami penurunan permintaan hingga 2,98-3,25%.

"Kalau dikenakan bea masuk, pengenaan itu akan berdampak pada struktur biaya industri makanan dan minuman, terutama dari sektor kecil dan menengah. Mereka menggunakan bukan dalam bentuk bahan baku, tapi yang sudah jadi (kemasan)," kata Piter.

Dengan menurunnya permintaan tersebut, Piter mengatakan keuntungan industri makanan dan minuman kemungkinan akan menurun. Menurut Piter, hal tersebut akan pula berimbas pada berkurangnya penerimaan pajak.

Penerapan BMAD juga diperkirakan akan membawa penurunan penerimaan pajak sekitar Rp 230 miliar. Penurunan permintaan juga akan menyebabkan menurunnya penyerapan tenaga kerja di sektor industri makanan dan minuman lebih dari 9.000 orang.

(Baca: Kenaikan Harga Minyak Menekan Industri Plastik)

Adapun, penurunan ini pun akan berkontribusi pada inflasi, hanya saja sumbangannya tak signifikan sebesar 0,001%. "Karena perusahaan akan menurunkan produksi berarti pertumbuhan investasi di sektor industri makanan dan minuman dampaknya akan turun," kata Piter.

Selain karena merugikan industri makanan dan minuman, Rachmat menilai usulan kenaikan BMAD lewat KADI berdasarkan pengajuan petisi oleh Asosiasi Produsen SYnthetic Fiber Indonesia (APSyFl).

APSyFi dituding terafiliasi dengan beberapa perusahaan eksportir PET seperti PT Indorama Polipet Indonesia, Petnesia Resindo, dan Mitsubishi Chemical Indonesia.

Karenanya, Rachmat berharap pemerintah Indonesia menolak rekomendasi penerapan kebijakan BMAD yang diajukan KADI. Rekomendasi serupa sebelumnya pernah ditolah Kementerian Perdagangan pada 2013 karena dianggap mengarah pada dampak industri makanan dan minuman Indonesia.

"Kami mohon kepada pemerintah Indonesia untuk tidak menerapkan BMAD ini karena jauh lebih banyak mudharatnya daripada manfaatnya," kata Rachmat.

Editor: Yuliawati

Cek juga data ini

Berita Katadata.co.id di WhatsApp Anda

Dapatkan akses cepat ke berita terkini dan data berharga dari WhatsApp Channel Katadata.co.id

Ikuti kami

Artikel Terkait

Video Pilihan
Loading...