IHSG Melemah Paling Parah di Global, Asing Jual Saham Rp 1,96 Triliun
Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) ditutup anjlok 2,4% ke level 6.079 pada perdagangan Rabu (25/4). Pelemahan terjadi seiring dengan aksi jual besar-besaran oleh investor asing. Pelemahan ini merupakan yang terparah di global.
Mengacu pada data RTI, investor asing tercatat membukukan penjualan bersih (net sell) harian terbesar sepanjang tahun ini yaitu sebesar Rp 1,96 triliun di keseluruhan pasar. Investor tercatat turut melepas saham-saham bluechip alhasil indeks LQ45 turun 3,23%. Adapun seluruh indeks sektoral mengalami penurunan, yang terparah sektor keuangan turun 4,07%.
Pelemahan IHSG mengekor pelemahan indeks di bursa Amerika Serikat (AS) sehari sebelumnya. Dow Jones Industrial, S&P 500, dan Nasdaq Composite tercatat turun masing-masing 1,74%, 1,34%, dan 1,70%.
Namun, IHSG terpantau terpukul paling parah. Indeks-indeks utama di Asia tercatat mengalami penurunan yang lebih kecil. Nikkei 225 dan Topix di Jepang hanya turun 0,28%, Hang Seng di Hong Kong 1,01%, CSI 300 di Tiongkok 0,38%.
Sementara itu, mayoritas indeks saham di negara-negara berkembang justru mengalami penguatan. Hal itu tercermin dari MSCI AC Asia Pacific yang menguat 0,21%. Saat berita ini ditulis, Euro Stoxx 50 Pr di Eropa melemah 1,11%.
Penurunan IHSG sudah diprediksi sederet analis. Analis Samuel Sekuritas Muhammad Alfatih mengatakan, indeks mengalami penurunan beberapa hari ini, terutama setelah Bank Indonesia (BI) mempertahankan suku bunga acuan (BI 7 Days Repo Rate) di level 4,25%, sedangkan imbal hasil (yield) surat berharga AS melampaui level psikologis 3%.
“Perkembangan US Government Bond hingga 3% memberi dampak USD/IDR di kisraan Rp 14 ribu, sekaligus menekan IHSG,” kata dia kepada Katadata.co.id, Rabu (25/4). (Baca juga: Jaga Rupiah, Pemerintah Perlu Perpanjang Masa Tahan Obligasi Negara)
Meski begitu, ia menilai penurunan IHSG sudah masuk kisaran support kuat 6.000-6.100 sehingga penurunan cenderung melambat. “Resistance masih kuat di 6.300-6.400,” ujarnya.
Sementara itu, Analis Royal Investum Sekuritas Wijen Ponthus mengatakan nilai tukar rupiah yang terus melemah terhadap dolar AS serta yield surat berharga AS yang terus naik membuat investor khawatir. Sebab, kondisi itu bakal membuat keuntungan investasi portofolio dalam rupiah mengecil.
“Spread yield di Indonesia dan AS makin kecil. Belum lagi jika dihitung faktor depresiasi rupiah. Artinya, hal ini membuat appetite investasi foreign investor makin kecil,” ujarnya. (Baca juga: Chatib Basri: Kontrol Harga BBM dan Risiko Utang BUMN Menekan Rupiah)
Secara khusus terkait kejatuhan saham sektor keuangan, Head of Equity Capital Market PT Samuel International Harry Su mengatakan pelaku pasar memprediksi, selanjutnya, BI bakal menaikkan suku bunga acuan untuk meredam arus keluar dana asing sehingga mencegah pelemahan lebih lanjut nilai tukar rupiah.
“Banyak saham bank-bank yang jatuh karena market memperkirakan bahwa next move-nya pasti kenaikan suku bunga untuk meredam pelemahan rupiah,” kata dia. Ia pun memprediksi IHSG masih cenderung gejolak pada perdagangan sepanjang pekan ini.
Di sisi lain, Analis Danareksa Sekuritas Lucky Bayu Purnomo mengatakan, selain tren kenaikan yield surat berharga AS dan pelemahan nilai tukar rupiah dengan target 14.000-14.150 per dolar AS, terdapat beberapa sentimen lain yang menyebabkan pelemahan IHSG.
Pertama, kinerja harga minyak dunia yang nyaris mencapai level psikologis US$ 80 per barel. Kedua, peluang kenaikan bunga dana bank sentral AS yang membuat investor memilih untuk memegang dolar AS.
Lucky berpendapat, dengan kondisi tersebut ditambah jelang puasa dan libur Lebaran, maka investor ada kecenderungan membatasi transaksi. Alhasil, IHSG masih memiliki ruang pelemahan hingga ke bawah level 6.000.
“Ruang gerak indeks masih memiliki ruang pelemahan untuk menguji level 6.000 dari level penutupan hari ini 6.079, sementara ruang indeks yang terendah ada di level 5.950 sebagai level support dan resistance ada di angka 6.295,” ucapnya.
Melihat gejolak IHSG, Analis PT Danpac Sekuritas Harry Wijaya menyarankan investor untuk menahan diri. “Stay away dulu,” kata dia.