Aplikasi Ini Adopsi Teknologi Blockchain untuk Pembayaran Pajak
Aplikasi OnlinePajak mengadopsi teknologi blockchain untuk membantu masyarakat membayar pajak dengan lebih mudah. Aplikasi ini dikembangkan oleh PT Achilles Advanced System yang merupakan mitra penyedia jasa aplikasi resmi Direktorat Jenderal Pajak untuk e-filing dan e-billing pajak.
Founder dan Direktur OnlinePajak Charles Guinot mematikan keamanan data pengguna aplikasinya. Sebab, teknologi blockchain pada aplikasinya hanya digunakan sebagai perantara menghitung, melapor dan menyetorkan pajak.
"Yang menyimpan data wajib pajaknya adalah Direktorat Jenderal Pajak" kata dia dalam acara Media Launch Fitur Blockchain di Hotel Raffles, Jakarta, Jumat (27/4).
Ia menyebutkan, OnlinePajak telah digunakan oleh 700 ribu wajib pajak pribadi dan 10 ribu perusahaan atau badan. Pengembang aplikasi yang berdiri sejak Maret 2016 ini sudah mengelola Rp 43 triiiun atau 3% dari penerimaan pajak pada 2017. Tahun ini, jumlah itu ditargetkan meningkat hingga 10%.
(Baca juga: Tak Lapor Data Nasabah, Pejabat Bank Terancam Hukuman Penjara)
Direktur Eksekutif Center of Indonesia Taxation Analysis (CITA) Yustinus Prastowo menyatakan, pengguna aplikasi ini memang berpeluang untuk tumbuh. Sebab, dari 16,6 juta pemilik Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP), 70% di antaranya sudah menggunakan fitur e-filling. "Mereka sudah terliterasi teknologi, seperti email dan sebagainya. Tidak sulit diedukasi soal blockchain," ujar dia saat
Dengan menggunakan blockchain, menurut dia proses membayar dan melaporkan pajak akan lebih mudah dan efisien. Dengan begitu, wajib pajak berpeluang lebih patuh.
Menteri Komunikasi dan Informatika (Menkominfo) Rudiantara juga mendukung penerapan blockchain untuk di bidang pajak. Apalagi, banyak masyarakat di Indonesia yang belum memahami proses pembayaran dan pelaporan pajak. Bila ingin penerimaan pajak meningkat, kata dia, penyederhanaan proses adalah kunci utama.
(Baca juga: WNI Simpan Ribuan Triliun Harta di Luar Negeri, Diimbau Lapor Sukarela)
Dari sisi keamanan, Anggota Komite Asosiasi Blockchain Indonesia Steven Suhadi mengatakan, teknologi terdiri atas blok-blok yang sulit diretas. Jika ada peretas yang berniat buruk, dia harus meretas blok-blok sebelumnya untuk bisa bisa mengambil data di satu blok yang lain.
Hanya, untuk membuat keamanan sistem ini lebih terjamin, pengelola harus membuat server data yang terdesentralisasi. "Perlu dibuat banyak titik penyimpanan data supaya tidak mudah diretas," kata dia.
Itu artinya, untuk pelaporan dan pembayaran pajak ini data disimpan oleh wajib pajak, bank, Ditjen Pajak, dan institusi lain yang terkait. Dengan begitu, satu institusi yang sistemnya diretas, sistem akan tetap berfungsi karena disokong oleh data di lembaga yang lain. Selain itu, data yang disimpan juga harus dienkripsi agar tak terbaca oleh siapapun kecuali Direktorat Jenderal Pajak.