Jawaban Sri Mulyani Atas Temuan Masalah Subsidi Listrik Rp 5,2 Triliun
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menanggapi temuan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) mengenai anggaran subsidi listrik sebesar Rp 5,22 triliun. Lembaga audit negara itu menilai penambahan dana subsidi bermasalah karena tidak sesuai dengan Undang-Undang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Perubahan (APBN P) 2017.
Menurut Sri Mulyani, pemerintah akan melakukan penetapan setelah BPK mengeluarkan hasil audit Laporan Keuangan Pemerintah Pusat (LKPP) 2017. “Dalam penetapan itu berarti termasuk apakah akan dibayarkan atau ditanggung oleh badan usaha tersebut,” kata Sri Mulyani di kompleks Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Jakarta, Kamis (31/5).
Menambahkan jawab Sri Mulyani, Direktur Jenderal Anggaran Kementerian Keuangan Askolani menyatakan subsidi listrik tersebut juga terkait pelunasan tunggakan negara untuk menjaga debt service coverage ratio PT Perusahaan Listrik Negara (PLN). Dengan demikian, rasio kemampuan membayar utang PLN dari dana tunai hasil aktivitas operasi atas beban keuangan perusahaan tetap satu persen. “Itu pernah kami lakukan pada 2004 dan 2003,” ujar Askolani.
(Baca juga: Subsidi Listrik Terancam Membengkak Akibat Tambahan 1 Juta Pelanggan).
Di sini, Askolani melanjutkan, memang ada perbedaan cara melihat masalah tersebut antara BPK dan pemerintah. Menurut BPK, seharusnya pelunasan menggunakan kewajiban dari tahun lalu, bukan dari tunggakan.
Namun pemerintah harus melunasi tunggakan agar tidak mengganggu keuangan PLN sehingga tidak merusak kredibilitas. Walau demikian, Askolani meyakinkan akan menjalankan rekomendasi BPK terkait subsidi pada tahun ini. Menteri Keuangan sebagai wakil pemerintah hendak berkoordinasi dengan Badan Anggaran DPR dalam pembahasan RAPBN 2019.
BPK memang merekomendasikan agar pemerintah bersama DPR mengatur mekanisme pertanggungjawaban atas penambahan subsidi di luar parameter yang ditetapkan. Apalagi, lembaga tinggi negara itu menilai tambahan pembayaran subsidi juga dianggap tidak berdasarkan pertimbangan yang memadai.
“Di APBN tidak ada anggarannya, tapi ada pengeluaran sebesar Rp 5,22 triliun. Kenapa tidak dianggarkan subsidinya atas beban-beban yang lalu?” kata Ketua BPK Moermahadi Soerja Djanegara usai menyampaikan Laporan Hasil Pemeriksaan (LHP) 2017 kepada DPR, kemarin. (Baca: BPK: Tambahan Subsidi Listrik Rp 5,2 Triliun Tahun Lalu Bermasalah).
LKPP mencatat realisasi belanja subsidi listrik tahun lalu sebesar Rp 50,59 triliun. Padahal anggaran yang dialokasikan hanya Rp 45,37 triliun. Artinya ada kelebihan sebesar Rp 5,22 triliun. Selisih ini merupakan pembayaran atas utang subsidi pada 2015.
Mekanisme penambahan subsidi berdasarkan revisi keempat Daftar Isian Pelaksanaan Anggaran (DIPA) yang ditetapkan Menteri Keuangan Sri Mulyani pada 28 Desember 2017. Adapun pembayarannya melalui tiga bank pelat merah kepada PLN pada 29 Desember tahun lalu. Secara lebih rinci, dana tersebut dibayarkan melalui BRI sebesar Rp 2,6 triliun, Bank Mandiri Rp 1,3 triliun, dan BNI Rp 1,3 triliun.
Menurut BPK, penambahan anggaran subsidi bukanlah wewenang Menteri Keuangan. Hal ini diatur dalam Undang-Undang APBN P 2017 Pasal 16 dan 18. Penambahan anggaran harus meminta persetujuan DPR terlebih dahulu, sebelum Menteri Keuangan melakukan perubahan DIPA dan merealisasikannya.
Alasan pertimbangan penambahan subsidi untuk mengatasi permasalahan keuangan PLN pun dinilai tidak memadai. BPK menyatakan penambahan subsidi tidak akan menyelesaikan masalah keuangan perusahaan setrum negara tersebut.