Menteri Enggar: Harga Ayam Tinggi Jelang Lebaran Bukan karena Ditimbun
Menteri Perdagangan Enggartiasto Lukita menyatakan, harga daging ayam selama puasa dan Lebaran lalu meningkat akibat kurangnya pasokan dari peternak ke pedagang. Ia pun menepis dugaan adanya praktik penimbunan sehingga harga ayam naik.
Harga daging ayam ras ketika puasa dan Lebaran 2018 sempat melonjak tinggi. Mengacu data Pusat Informasi Harga Pangan Strategis (PIHPS) Nasional, per 14 Juni 2018, harga rata-rata satu kilogram (kg) daging ayam ras mencapai Rp 42.550. Sementara di akhir Mei 2018, harga ayam juga sempat menyentuh Rp 45.000 per kilogram.
"Itu kami harus akui yang kemudian kami minta kepada integrator dan juga para peternak-peternak mandiri yang besar untuk melakukan operasi dan mengeluarkan seluruh stok," kata Enggar di kantornya.
Enggar menilai tak mungkin ada penimbunan. Peternak akan merugi jika melakukan hal tersebut. Sebab, ayam-ayam yang ditimbun harus diberikan makan agar tetap hidup agar nantinya dapat dijual dalam kondisi segar ke pasar.
(Baca : Harga Ayam Diprediksi Kembali Normal Pekan Depan)
"Jadi kalau disimpan, pasti peternaknya rugi. Jadi bukan karena alasan penimbunan," kata Enggar.
Meski sudah relatif menurun, harga daging ayam ras masih cukup mahal. Berdasarkan data Pusat Informasi Harga Pangan Strategis (PIHPS) Nasional, per 22 Juni 2018, harga rata-rata daging ayam ras terpantau mencapai Rp 38.750 per kg.
Enggar mengatakan, pihaknya akan terus menstabilkan harga daging ayam. "Kami lakukan beberapa operasi pasar. Dengan dilakukannya operasi pasar, harga tidak melonjak lebih tinggi," katanya.
Ketua Umum Perhimpunan Insan Perunggasan Rakyat (Pinsar) Indonesia Singgih Januratmoko memperkirakan harga ayam akan mulai normal pasca-Lebaran. Sebab, permintaan masyarakat akan kembali normal, dibandingkan permintaan ketika Ramadan dan Lebaran meningkat sekitar 20%. Hal itu juga akan didukung oleh upaya peternak yang terus menggelontorkan pasokan untuk menekan harga.
(Baca: Pelemahan Rupiah Kerek Harga Ayam dan Telur)
Guru Besar Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor (IPB) Dwi Andreas Santosa sebelumnya menuturkan, harga daging ayam tahun ini merupakan yang tertinggi daripada tahun-tahun sebelumnya. Ini terjadi karena pola produksi ayam secara tahunan.
Dalam kajiannya, harga ayam akan rendah Maret dan April karena produksinya tinggi. Namun, harga akan kembali meningkat karena komponen impor dalam produksi ayam pada bulan Mei hingga Juli. “Setelah itu, harga ayam akan turun sedikit,” ujar Dwi.
Fluktuasi harga ayam ini antara lain disebabkan adanya kontribusi pakan impor serta stok ayam indukan yang dipasok dari luar negeri. Terlebih dengan kondisi pelemahan nilai tukar Rupiah terhadap dolar Amerika Serikat saat ini.
Ada dua upaya yang harus dilakukan pemerintah agar harga daging ayam tetap stabil pada semester kedua 2018 dan akhir tahun, yang mana konsumsi ayam diperkirakan meningkat.
Pertama, upaya stabilisasi harga dengan meningkatkan pasokan daging ayam ke masyarakat. Kementerian Perdagangan juga harus mengawasi distribusi pasokan dari peternak kepada pedagang yang akan dijual ke konsumen.
Kedua, nilai tukar rupiah harus segera diperbaiki. “Komponen impor dalam produksi ayam dan telur sangat mempengaruhi harga sehingga pasar dunia juga harus diperhatikan,” ujar Dwi.