Pihak Sjamsul Nursalim Ungkap Proses Penyelesaian BLBI BDNI

Dimas Jarot Bayu
25 Juli 2018, 21:11
Syafruddin Arsyad Temenggung
ANTARA FOTO/Aprillio Akbar
Terdakwa kasus korupsi pemberian Surat Keterangan Lunas (SKL) Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) Syafruddin Arsyad Temenggung (kiri) di Pengadilan Tipikor, Jakarta, Senin (21/5).

Kuasa hukum  Sjamsul Nursalim, Otto Hasibuan meminta pemerintah untuk menjelaskan pelunasan utang Bank Dagang Nasional Indonesia (BDNI) terkait Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) kepada Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Otto mengatakan, Sjamsul sudah melunasi utang BDNI melalui skema Master Settlement and Acquisition Agreement (MSAA) pada 1998.

"Pemerintah harus berani memberikan keterangan kepada KPK mengenai apa yang sebenarnya terjadi," kata Otto di Hotel Le Meridien, Jakarta, Rabu (25/7).

Otto memaparkan kasus ini bermula saat BDNI mendapatkan dana BLBI dari Bank Indonesia (BI) karena terjadi krisis moneter medio 1997-1998. Ketika itu, masyarakat panik dan menarik dana besar-besaran sehingga perbankan mengalami kesulitan likuiditas.

(Baca juga: Sjamsul Nursalim Enggan Jadi Saksi BLBI karena Tak Dilindungi Hukum)

Proses Release and Discharge

Melalui Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN), BDNI ditetapkan sebagai Bank Take Over (BTO) untuk mendapatkan dana BLBI sebesar Rp 25,9 triliun. Hal ini tercantum dalam SK Ketua BPPN Nomor 3/BPPN/1998 pada 4 April 1998.

Pada 21 Agustus 1998, BPPN kemudian menetapkan BDNI sebagai Bank Beku Operasi (BBO). Dengan status BBO tersebut, jumlah BLBI BDNI yang dialihkan BI kepada BPPN pada 29 Januari 1999 sebesar Rp 37,039 triliun.

Dalam perjalanannya, perhitungan BPPN menemukan adanya utang dari BLBI yang harus dilunasi BDNI senilai Rp 28,4 triliun. Alhasil, BDNI diwajibkan mengikuti Penyelesaian Kewajiban Pemegang Saham (PKPS) melalui skema MSAA pada 21 September 1998.

Dengan skema tersebut, Sjamsul membayarkan secara tunai sebesar Rp 1 triliun dan menyerahkan aset senilai Rp 27,495 triliun kepada perusahaan yang dibentuk BPPN, yakni PT Tunas Sepadan Investama.

Dalam rangka memenuhi isi MSAA, bos PT Gajah Tunggal Tbk menyerahkan dan mempresentasikan aset berupa piutang BDNI atas petambak plasma Dipasena Citra Darmadja (PT DCD) dan PT Wachyuni Mandira (PT WM) kepada tim valuasi BPPN sejumlah Rp 4,8 triliun.

Hal ini dibuktikan dengan adanya dua surat Pembebasan dan Pelepasan (Release and Discharge) yang ditandatangani oleh Menteri Keuangan Bambang Subianto dan Ketua BPPN Syafruddin Arsyad Temenggung pada 25 Mei 1998. Selain itu, terdapat akta notaris antara Sjamsul dan Syafruddin untuk menguatkan kedua surat tersebut.

"Jadi setelah di sini sebenarnya sudah selesai," kata Otto. (Baca juga: Syafruddin Temenggung Minta Sjamsul Nursalim Jadi Saksi Kasus BLBI)

Hanya saja pada masa pemerintahan Presiden ketiga RI B.J Habibie di tahun 1999, BPPN menyimpulkan jika kredit petambak digolongkan macet. Atas dasar itu, BPPN pada 1 November 1999 meminta agar Sjamsul menyanggupi menambah aset untuk mengganti kerugian BPPN sebesar Rp 4,8 triliun.

Sjamsul menolak menambah aset karena utang petambak dianggap bukan merupakan bagian dari kewajiban pembayaran pemegang saham BDNI. Sebab, utang petambak merupakan kredit yang jadi bagian program pemerintah dalam rangka pemberdayaan petani tambak.

Selain itu, utang petambak adalah hak tagih BDNI yang sudah diambil alih BPPN saat menjadi BTO. Ini sebagaimana telah tercantum dalam audit investigasi BPK pada 2002.

Halaman:
Editor: Yuliawati
Berita Katadata.co.id di WhatsApp Anda

Dapatkan akses cepat ke berita terkini dan data berharga dari WhatsApp Channel Katadata.co.id

Ikuti kami

Artikel Terkait

Video Pilihan
Loading...