Sjamsul Nursalim Enggan Jadi Saksi BLBI karena Tak Dilindungi Hukum
Pemilik Bank Dagang Nasional Indonesia (BDNI) Sjamsul Nursalim membantah melarikan diri dari panggilan pemeriksaan dalam kasus dugaan korupsi Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI). Sjamsul beberapa kali mangkir dalam pemeriksaan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), dan belakangan hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta memerintahkan jaksa menghadirkan Sjamsul sebagai saksi.
Sjamsul melalui pengacaranya, Otto Hasibuan, mengatakan tak mau kembali ke Indonesia lantaran merasa tak ada jaminan perlindungan hukum dari pemerintah.
"Yang saya pasti katakan, dia tidak datang karena menghargai janji pemerintah. Pemerintah kan bilang tidak akan menuntut, menyidik, memproses hukum. Hal ini yang dia pegang terus," kata Otto di Hotel Le Meridien, Jakarta, Rabu (25/7).
(Baca juga: Bantah Melarikan Diri, Sjamsul Nursalim Klaim Sudah Lunasi Utang BLBI)
Sjamsul menganggap perlu mendapat perlindungan hukum karena mengklaim telah melunasi kewajiban mengembalikan utang BDNI dalam BLBI sebesar Rp 4,8 triliun. Pelunasan ini melalui skema Master Settlement and Acquisition Agreement (MSAA) pada 1998. Melalui skema tersebut, utang petani tambak udang di Lampung sebesar Rp 1,1 triliun telah diperhitungkan ke dalam aset BDNI.
Kemudian utang tersebut dialihkan ke Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN). Hal ini dibuktikan dengan diterimanya surat pembebasan dan pelepasan (release and discharge) yang ditandatangani Ketua BPPN Syafruddin Arsjad Temenggung dan Menteri Keuangan pada Mei 1999.
Ada pun sisa utang BDNI sebesar Rp 3,7 triliun dihapuskan oleh Komite Kebijakan Sektor Keuangan (KKSK) pada 2004. Selanjutnya dengan persetujuan Komite Kebijakan Sektor Keuangan dan Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN) pada 2004, BPPN mengeluarkan Surat Keterangan Lunas (SKL).
(Baca juga: Syafruddin Temenggung Minta Sjamsul Nursalim Jadi Saksi Kasus BLBI)
Otto mengatakan setelah menyelesaikan utang BLBI, Sjamsul berhak mendapat perlindungan hukum. Aturan ini diatur dalam Undang-undang Nomor 25 Tahun 2000 tentang Program Pembangunan Nasional (Propenas), Ketetapan (TAP) MPR Nomor X/MPR/2001, TAP MPR Nomor VI/MPR/2002, serta Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 8 Tahun 2002.
Selain itu, Otto menilai saat ini kliennya masih berstatus sebagai saksi dan hingga kini KPK tak pernah menetapkan Sjamsul sebagai tersangka atau masuk Daftar Pencarian Orang (DPO). Dengan begitu, Otto menilai sah saja jika kliennya pergi ke mana saja.
Saat ini Sjamsul menetap di Singapura dan KPK mengetahui kediamannya. "Jadi jangan dipikirkan bahwa dia itu kabur, tidak. Tak ada di DPO," kata Otto.
Terkait kesulitan KPK memeriksa Sjamsul, Otto menilai belum jelas apakah surat panggilan komisi antirasuah tersebut kepada kliennya benar-benar dikirimkan. Otto pun meminta agar KPK menunjukkan apakah pernah ada tanda terima surat pemanggilan kepada Sjamsul di Singapura.
"Apakah betul dia sudah dipanggil atau tidak? Ini kan belum clear," kata Otto.
(Baca juga: Sjamsul dan Dorodjatun Ada dalam Dakwaan Kasus BLBI Eks Kepala BPPN)
Nama Sjamsul sebelumnya disebut dalam dakwaan eks Kepala Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) Syafruddin Arsyad Temengggung dalam perkara korupsi BLBI. Syafruddin dianggap telah memperkaya Sjamsul dalam kasus tersebut sebesar Rp 4,58 triliun.
Syafruddin diduga telah menghapus piutang BDNI kepada petani tambak yang dijamin oleh PT Dipasena Citra Darmadja (PT DCD) dan PT Wachyuni Mandira (PT WM). Selain itu, dia dianggap telah menerbitkan Surat Pemenuhan Kewajiban Pemegang Saham kepada Sjamsul.
"Meskipun Sjamsul Nursalim belum menyelesaikan kewajibannya terhadap kesalahan dalam menampilkan piutang BDNI kepada petambak untuk diserahkan kepada BPPN seolah-olah sebagai piutang yang lancar," kata JPU KPK Haerudin di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta, Senin (14/5).