Ekspor Lesu, Kemendag Minta Eksportir Tingkatkan Produk Nilai Tambah
Neraca perdagangan Indonesia mencatat defisit sebesar US$ 1,02 miliar pada semester pertama 2018. Kementerian Perdagangan pertanyakan kinerja eksportir karena aktivitas ekspornya kalah dibanding impor.
Direktur Jenderal Perdagangan Luar Negeri Kementerian Perdagangan Oke Nurwan menyatakan kinerja ekspor Indonesia sepanjang semester I 2018 kurang menggairahkan. Menurutnya, neraca dagang Indonesia hanya surplus dua kali dalam enam bulan pertama 2018, sisanya defisit. Adapun pada Juli 2018, neraca dagang juga diperkirakan kembali defisit.
“Bapak ibu eksportir ke mana saja? apa masalahnya sehingga ekspor sampai kedodoran dengan impor?” kata Oke di Jakarta, Selasa (7/8).
(Baca : Ini Penyebab Ekonomi Tumbuh Tinggi Meski Investasi dan Ekspor Melemah)
Oke menyebut, pihaknya telah mengidentifikasi permasalahan ekspor yang masih dialami Indonesia, salah satunya karena ekspor Indonesia masih mengandalkan komoditas bahan baku atau bahan primer. Sehingga, neraca perdagangan masih terpengaruh oleh harga komoditas, bukan nilai tambah industri manufaktur.
Sementara itu, negara lain justru umunya memiliki permintaan yang berbeda. Menurut catatannya, struktur permintaan pasar dunia saat ini, sekitar 81% menginginkan produk manufaktur dan 19% produk primer atau bahan baku.
Saat ini, struktur produk ekspor Indonesia untuk komoditas bahan baku dengan produk manufaktur persentasenya hampir seimbang, yaitu 47% berbanding 53%. Dibandingkan dengan Vietnam, ekspor negara tersebut lebih unggul selain karena telah berbasis komoditas manufaktur, Vietnam juga telah melengkapi ekspornya dengan produk berbasis high-skill and technology intensity.
“Karenanya, kami akan mendorong industri agar lebih berorientasi ekspor . Salah satunya dengan meningkatkan ekspor barang bernilai tambah tinggi,” kata Oke.
Sementara itu, perubahan mekanisme impor yang menjadi lebih mudah juga disebut Oke bisa saja menjadi penyebab lain melebarnya defisit.
Relaksasi tata niaga impor juga menurutnya bisa menyebabkan melebarnya defisit neraca dagang, salah satunya seperti kebijakan pelarangan dan pembatasan (lartas) border dan post-border.
(Baca juga: Pertumbuhan Ekonomi Kuartal II 5,27%, Tertinggi Selama Periode Jokowi)
Menurut catatan Oke, Kementerian Perdagangan telah memudahkan lartas impor dari border ke post-border sebanyak 2.925 Harmonized System (HS) dari 3.789 HS. Sisanya 864 HS masih dalam pengawasan. Impor yang langsung masuk ke post-border tidak perlu pemeriksaan dokumen kepabeanan sehingga masuknya bakal lebih mudah.
Impor di post-border meningkat 30,95% dengan nilai US$ 16,9 miliar, lebih tinggi dari peningkatan impor di border yang hanya naik 19,64% menjadi US$ 15,54 miliar. Kemudahan lartas impor di post-border pun memicu peningkatan impor bahan baku penolong sebesar 30,36% dan bahan modal mencapai 39,10%.
Oke mengatakan, salah satu yang menyebabkan peningkatan bahan baku penolong yakni karena adanya pembatas jalan dari besi atau baja mencapai 574,87% dan baja paduan selain gulungan 218,99%.
“Impor jadi lancar, mungkin ini yang mewarnai defisit, mudah-mudahan impor dilakukan karena kebutuhan,” ujar Oke.
Meski fasilitas impor dipermudah, dia mengakui pihaknya bakal lebih efektif supaya produk yang masuk ke Indonesia lebih terkontrol dengan kebijakan safeguard atau anti-dumping.
Akses Pasar
Lain dengan yang diungkap Oke, sejumlah kalangan pengusaha justru meminta peningkatan akses pasar kepada pemerintah.
Government Relation Director PT Great Giant Pineapple Welly Soegiono mengungkapkan perusahaannya butuh akses pasar yang lebih luas dari pendekatan pemerintah. Alasannya, eksportir kerap menemui hambatan pada beberapa negara tujuan, khususmnya terkait pengenaan bea masuk yang lebih tinggi dibandingkan perusahaan pesaing dari negara lain.
(Baca juga: Pertanian & Perikanan Penopang Besar Pertumbuhan Ekonomi Kuartal II)
Salah satu contohnya seperti ekspor produk buah kemas yang dikirim ke Uni-Eropa mesti melewati hambatan non-tarif dengan pemeriksaan sebanyak 21 kali. Selain itu, bea masuknya pun dikenakan lebih besar dibandingkan Filipina dan Vietnam.
Saat ini, pemerintah tengah melakukan perundingan Comprehensive Economics Partnership Agreement (CEPA) dengan Uni-Eropa. “Kalau bisa cepat selesai, kami bisa dorong ekspor kami hingga 15%,” ujarnya.