Bank-bank BUMN Siap Longgarkan Kredit untuk Pengembang Properti
Bank-bank milik negara (BUMN) siap bersinergi menjalankan rencana Otoritas Jasa Keuangan (OJK) untuk melonggarkan kredit kepada pengembang properti yang hendak membeli lahan untuk mendirikan area hunian.
Sekretaris Himpunan Bank Milik Negara (Himbara) Budi Satria mengatakan, Himbara menyambut baik kebijakan OJK tersebut. Perbankan berharap pertumbuhan kredit konstruksi maupun konsumsi di sektor properti bisa terpacu.
"Kredit konstruksi ujungnya untuk penyediaan properti (melalui) KPR. Kami tidak hanya jamin dari sisi permintaan (perumahan) tetapi juga dari sisi suplai," tuturnya, di Jakarta, Senin (13/8).
Budi menjelaskan, melalui pelonggaran penyaluran kredit untuk developer maka para pengembang bisa memperoleh pendanaan bank meskipun proyek hunian belum masuk tahap pembangunan. Sekitar 30% dari total kredit yang disetujui bank dapat segera dicairkan.
Namun, kebijakan OJK ini tidak berlaku untuk semua pengembang properti. Otoritas akan menelaah lebih jauh skala bisnis si developer. Para pengembang perumahan skala kecil yang diprioritaskan untuk mengakses pelonggaran kredit ini.
Himbara menilai bahwa pengembang properti skala kecil tidak selalu memiliki profil risiko kredit yang tinggi. Terdapat sejumlah developer kecil yang profil risiko kreditnya relatif terjaga.
"Bank tetap lihat kinerjanya, bukan hanya besar kecil (skala usaha). Selama usahanya lancar, kami berikan yang maksimal,” kata Budi.
Himbara berharap relaksasi kredit konstruksi properti dibarengi dengan penurunan Aktiva Tertimbang Menurut Risiko. ATMR untuk kredit properti sekarang rerata 35%. Persentase ini diharapkan bisa ditekan ke kisaran 20% seperti Kredit Usaha Rakyat (KUR).
Sementara itu, Ketua Dewan Komisioner OJK Wimboh Santoso sebelumnya menuturkan, insentif kredit kepada pengembang semacam ini diharapkan dapat memperkuat dorongan terhadap pertumbuhan bisnis properti. Apalagi, Bank Indonesia (BI) juga merilis relaksasi loan to value (LTV).
OJK sejatinya hendak mengikis backlog alias kesenjangan di antara jumlah rumah terbangun dengan jumlah yang dibutuhkan rakyat. “Kalau supply kurang akhirnya orang butuh rumah terutama yang keluarga-keluarga baru, mereka tidak bisa dapat rumah. Kalaupun dapat tapi harganya mahal,” kata dia.