Ombudsman Awasi Revisi Aturan Pemerintah Terkait Rekomendasi WTO

Michael Reily
15 Agustus 2018, 11:00
Buah impor membanjiri pasar
Katadata/Agung Samosir
Seorang pembeli sedang memilih buah impor di swalayan modern. Pemerintah membuka impor produk hortikultura dari beberapa negara.

Ombudsman Republik Indonesia akan mengawasi perubahan aturan yang  dilakukan pihak pemerintah terkait rekomendasi World Trade Organization (WTO) dalam  Dispute Settlement 477 dan 478 tentang produk hortikultura, hewan, dan produk hewan.  Dalam sengketa tersebut, Indonesia diberikan 18 rekomendasi untuk mengubah Peraturan Menteri dan Undang-Undang.

Komisioner Ombudsman Alamsyah Saragih menyatakan akan memonitor kerangka penerapan perubahan kebijakan pemerintah.“Jika ada laporan atau indikasi maladministrasi tentu akan kami tangani sesuai kewenangan Ombudsman,” kata Alamsyah kepada Katadata, Selasa (14/8).

Dia juga mengatakan pemerintah harus mempelajari lebih dalam terkait upaya-upaya negosiasi dengan negara lain dalam lingkup prinsip perdagangan WTO. Sebab, rezim perdagangan saat ini sudah bergeser dari semula  perdagangan bebas menjadi perdagangan yang adil.

(Baca : Buntut Sengketa Dagang, WTO juga Minta RI Merevisi 3 Undang-Undang)

Sesuai rekomendasi WTO, pemerintah sebelumnya menyatakan bahwa telah merevisi Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) dan Peraturan Menteri Pertanian (Permentan) sebelum tenggat tahap pertama berakhir, pada 22 Juni 2018. Beberapa poin kebijakan perdagangan telah diubah  pemerintah, salah satunya yaitu tidak mengatur pembatasan waktu pengajuan permohonan ijin impor yang berkaitan dengan persyaratan masa panen.

Padahal, perubahan itu tidak sesuai dengan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2013 tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Petani. “Kewajiban mengutamakan produksi Pertanian dalam negeri dilakukan melalui pengaturan impor komoditas pertanian sesuai dengan musim panen dan/atau kebutuhan konsumsi dalam negeri,” bunyi aturan tersebut sebagaimana yang tertulis dalam pasal 15 ayat 2.

Ombudsman menilai pemerintah harus melakukan dua tindakan. Pertama, untuk jangka pendek, pemerintah harus menyiapkan data dan fakta untuk renegosiasi parsial dalam tataran operasional yang fokus pada tiap permintaan rekomendasi.

Kemudian, pemerintah juga bisa menggunakan jaliur diplomasi melalui jaringan masyarakat sipil internasional. “Kita harus bisa memberikan kerangka kebijakan yang masuk akal, terukur, dan konsisten dalam negosiasi,” ujar Alamsyah.

Dia mengatakan, nasib petani tidak mungkin dikorbankan dan WTO juga punya kerangka kebijakan terkait  keberlangsungan pekerja dalam sektor pertanian. Sehingga, dia berharap dalam setiap  penetapan kebijakan, pemerintah  bisa berangkat dari tolak ukur kepentingan petani.

Kedua, untuk jangka menengah, Alamsyah meminta pemerintah serius untuk membenahi kelembagaan sosial ekonomi petani dan melakukan transformasi aset. Sebab, kekalahan dalam kasus di WTO berawal dari kegagalan dan rendahnya daya tawar pertanian. “Jika tidak, kita terkesan tak menghargai Undang-Undang sendiri,” katanya lagi.

(Baca : Indonesia Minta WTO Bentuk Tim Penilai Terkait Denda AS Rp 5 Triliun)

Halaman:
Editor: Ekarina
Berita Katadata.co.id di WhatsApp Anda

Dapatkan akses cepat ke berita terkini dan data berharga dari WhatsApp Channel Katadata.co.id

Ikuti kami

Artikel Terkait

Video Pilihan
Loading...