Kemenperin Keberatan Beberapa Poin RUU Sumber Daya Air
Kementerian Perindustrian angkat bicara mengenai polemik Rancangan Undang-Undang (RUU) Sumber Daya Air (SDA) saat ini. Sekretaris Jenderal Kemenperin Haris Munandar mengkritik beberapa poin yang masuk di dalam pembahasan aturan ini.
Haris mengatakan menyerahkan pengelolaan air hanya ke Badan Usaha Milik Negara (BUMN) dan Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) tidak tepat. Apalagi dengan komitmen pemerintah mendorong keterlibatan swasta. Selain itu dia meminta adanya aturan agar masyarakat dapat mengakses air, tapi penggunaannya tidak boleh semena-mena.
"Jadi aturan atau UU itu harus ramah investasi (swasta), ada beberapa poin yang kami beri masukan," kata Haris dalam sebuah diskusi di Jakarta, Selasa (21/8). (Baca: Keberatan RUU SDA, Pengusaha Air Minum Swasta Akan Surati Jokowi)
Dia berharap pembahasan aturan ini tidak menepikan kepentingan industri. Alasannya, yang membutuhkan air bukan hanya industri Air Minum Dalam Kemasan (AMDK). Beberapa industri lain seperti tekstil dan kertas juga membutuhkannya. Makanya Kemenperin menginginkan payung hukum mengenai Sumber Daya Air ini disesuaikan dengan UU Nomor 3 Tahun 2014 tentang Perindustrian.
"Bisa saja industri yang menggunakan air harus dengan izin. Kalau perusahaan boros diberikan pembatasan saja," kata dia.
Pihak pengusaha yang tergabung dalam Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) juga mengeluhkan minimnya keterlibatan industri dalam pembahasan RUU tersebut. Ketua Umum Apindo Haryadi Sukamdani mengungkapkan beberapa poin yang menjadi masalah adalah kewajiban perusahaan menyisihkan 10% laba untuk konservasi air, adanya bank garansi, serta akses SDA ileh masyarakat.
"Ini sangat rawan konflik horizontal dengan masyarakat," kata Haryadi. (Baca juga: 80 Persen Sumber Daya Air Indonesia Belum Termanfaatkan)
Dia melihat substansi RUU tersebut terlalu menitikberatkan fungsi sosial, ketimbang fungsi ekonomi dari keberadaan sumber air. Padahal dari sisi ekonomi ada aspek ekonomi yang dikerjakan swasta dalam penyediaan air. Dia khawatir industri pengguna air akan mengeluarkan banyak biaya akibat aturan ini, sehingga usahanya menjadi tidak kompetitif.
Sedangkan Ketua Komisi V Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Fary Djemi Francis mengaku heran mengapa Presiden Joko Widodo (Jokowi) tidak memerintahkan Kemenperin masuk dalam pembahasan RUU ini. Dia mengatakan dalam Surat Presiden berkop R-31/Pres/06/2018 kepada DPR hanya memerintahkan enam Kementerian membahas aturan tersebut bersama DPR.
(Baca: Pemerintah dan DPR Sepakat Batasi Swasta Berbisnis Air Minum)
Keenam Kementerian adalah Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR), Kementerian Dalam Negeri, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Kementerian Pertanian, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, serta Kementerian Hukum dan Hak Azasi Manusia. "Kami menyayangkan mengapa Kemenperin tidak masuk," kata dia.
Sedangkan Staf Khusus Menteri PUPR Bidang Sumber Daya Air Firdaus Ali mengatakan pemerintah tentu akan mengakomodir poin-poin keberatan dari pengusaha. Karena fokus utama dalam pembahasannya adalah agar UU ini tidak dibatalkan Mahkamah Kosntitusi ketika disahkan. Oleh sebab itu Kementerian PUPR menginginkan agar negara tetap hadir dalam substansi RUU ini.
"Akan tiba saatnya poin yang jadi concern akan kami akomodasi," kata Firdaus. (Baca: Menteri PUPR Akan Ajak Pengusaha Bahas Penolakan RUU Sumber Daya Air)