Tiga Perang yang Akan Menekan Ekonomi Global
Ekonomi dunia saat ini masih bergejolak, juga dalam beberapa waktu yang akan datang. Serangkaian kebijakan sejumlah negara besar dan maju saling bertumbukan. Akibatnya, situasi pasar global menjadi tak menentu.
Dalam teropong Bank Indonesia (BI) ini, ada tiga faktor yang akan menekan perekonomian global. Tragisnya, menurut Kepala Divisi Asesmen Makroekonomi BI Fadjar Majardi, gejolak perekonomian beberapa negara terjadi secara bersamaan.
“Ekonomi global saat ini ada tendensi perang kebijakan moneter (monetary policy war), perang dagang (trade war) atau perang kurs (currency war),” kata Fadjar di Manado, Jumat (24/8). Efeknya, dinamika yang semula hanya terjadi di satu atau dua negara lambat laun meluas.
(Baca juga: Perang Dagang, RI Incar Pasar Produk Tekstil Tiongkok di AS)
Sebagai contoh, perang kurs terpicu pada saat Tiongkok melemahkan mata uangnya, yuan, secara sengaja. Hal ini, bertujuan untuk meningkatkan daya saing ekspor Negeri Panda tersebut. Belum lagi perkara perang dagang di antara Amerika Serikat dan Tiongkok yang menimbulkan tekanan kepada negara berkembang lain.
Fadjar juga menyinggung soal sinyal kenaikan suku bunga acuan bank sentral Amerika, Fed Funds Rate, pada September 2018. Situasi ini secara akumulatif menimbulkan tendensi perang kebijakan moneter. Imbasnya, bank sentral sejumlah negara termasuk BI memutuskan untuk mengerek suku bunga acuan juga. (Baca juga: Kendalikan Defisit Transaksi Berjalan, Bunga Acuan BI Naik 25 Bps).
Seperti diketahui, bank sentral telah mengerek BI 7-day (Reverse) Repo Rate sebanyak 125 basis poin sepanjang tahun ini. Laju suku bunga diperkirakan berlanjut termasuk di beberapa negara lain. “Filipina diprediksi akan meningkatkan suku bunga, Korea Selatan, dan negara maju lainnya juga,” ujarnya.
Besarnya faktor global dalam mempengaruhi kondisi Tanah Air ini yang menjadi perhatian Presiden Joko Widodo. Beberapa kali dia dengan menggelar rapat kabinet terbatas khusus membahas tekanan eksternal tersebut.
Misalnya, pada akhir bulan lalu, dia mengumpulkan kabinetnya di Istana Bogor untuk membahas upaya memperkuat pasokan devisa. Dengan bertambahnya devisa, pemerintah akan lebih mudah menyelesaikan masalah defisit neraca berjalan dan pembayaran. Juga, akan mendongkrak posisi rupiah yang masih tertekan dolar Amerika.
Dalam pengantar rapat terbatas (ratas) itu, Jokowi mengingatkan saat ini negara sedang membutuhkan arus masuk dolar Amerika untuk memperkuat ekonomi. Dia memperingatkan kabinetnya yang mengendalikan kementerian dan lembaga (K/L) untuk berfokus menghadapi isu tersebut dan mengimplementasikannya dengan serius.
“Saya tidak mau lagi bolak-balik rapat tapi implementasi tidak berjalan baik,” kata Jokowi (31/7). (Baca juga: Rupiah Terus Melemah, Cadangan Devisa Turun di Bawah US$ 120 Miliar).
Tiga pekan sebelumnya, Jokowi pun menggelar ratas untuk menghadapi ancaman perang dagang yang dilancarkan beberapa negara. Langkah tersebut dirumuskan kurang lebih empat setengah jam di Istana Bogor.
Usai rapat, Menteri Perindustrian Airlangga Hartarto mengatakan pembahasan rapat untuk mencari cara meningkatkan ekspor dan mengoptimalkan impor. Selain itu pengembangan industri substitusi impor juga akan menjadi fokus pemerintah dalam mengantisipasi perang dagang dunia. (Baca: Antisipasi Perang Dagang, Jokowi Siapkan Insentif Bagi Industri)